LMND BOGOR

Liga Mahasiswa Nasoinal Untuk Demokrasi Eksekutif Kabupaten Bogor

  • Saturday, June 3, 2017

    Politik Agraria Bung Hatta

    Agraria merupakan soal mendasar bagi setiap bangsa. Tidak ada bangsa yang bisa melangkah maju tanpa menyelesaikan persoalan mendasar ini. Termasuk Indonesia.
    Apalagi, persoalan agraria di Indonesia memendam persoalan ketidakadilan dan cenderung involutif. Ada ketimpangan dalam struktur pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, khususnya tanah.
    Ketimpangan dan ketidakadilan itu membelenggu tenaga produktif di pedesaan, yakni kaum tani. Hal ini berpengaruh pada akses mereka pada pendidikan, kesehatan, dan sarana-sarana pengembangan hidup lainnya. Akibatnya, mereka lambat dalam proses penyerapan, adaptasi, inovasi, dan penemuan teknologi baru di sektor pertanian.
    Lebih jauh lagi, desa identik dengan kemiskinan. Sekitar 63 persen orang miskin Indonesia tinggal di pedesaan. Dan kita tahu, kemiskinan masyarakat desa sangat terkait dengan ketidakadilan agraria.
    Belum bicara konflik agraria. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2016 terjadi 450 kasus konflik agraria, dengan  luasan wilayah 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 KK yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.
    Nah, dengan melihat bentangan masalah agraria di atas, jelas butuh penyelesaian. Terutama untuk mengatasi persoalan ketimpangan dalam struktur pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, khususnya tanah.
    Dan bicara penyelesaian persoalan agraria, kita butuh politik agraria, yakni politik keberpihakan dalam bentuk kebijakan politik untuk mewujudkan keadilan agraria sesuai mandat pasal 33 UUD 1945.
    Dalam konteks itu, ada baiknya kita melihat sekilas politik agraria Bung Hatta. Pada Februari 1946, Wakil Presiden pertama Republik Indonesia ini menorehkan gagasannya soal politik agraria di Konferensi Ekonomi di Jogjakarta. Kelak, isi pikiran Bung Hatta itu muncul dalam bentuk risalah berjudul “Ekonomi Indonesia Di Masa Depan”.
    Menurut Bung Hatta, dalam konteks negara agraris, tanah menjadi alat produksi terpenting. “Baik buruknya penghidupan rakyat bergantung pada situasi hak milik tanah,” kata Bung Hatta.
    Karena itu, dia menegaskan, “tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang seorang untuk menindas atau memeras kehidupan orang banyak.” Konsekuensinya, perusahaan besar milik perseorangan tidak dibenarkan menguasai tanah.
    “Perusahaan yang menggunakan tanah luas sebaiknya diorganisasikan sebagai koperasi, di bawah pengawasan pemerintah,” tambahnya.
    Lantas, bagaimana dengan perkebunan besar milik asing? Tanah yang dikuasai oleh perkebunan asing itu adalah tanah negara, tetapi disewa dalam jangka waktu cukup panjang. Mengatasi masalah itu, Bung Hatta kurang setuju dengan ide penyitaan atau nasionalisasi. Baginya, nasionalisasi pun akan disertai kompensasi. Alhasil, untuk melakukan hal itu di jaman Republik saat itu, pemerintah harus berutang banyak. “Umpamakan mungkin meminjam uang dalam jumlah banyak, lebih baik kapital itu digunakan untuk membangun industri baru untuk menghasilkan barang-barang keperluan rakyat dan negara,” kata Bung Hatta.
    Solusi yang ditawarkan Bung Hatta cukup moderat: perkebunan besar itu bisa diselenggarakan sebagai koperasi, yang merupakan usaha bersama antara kapital bangsa asing/investor asing dan tenaga Indonesia/pemerintah. Tentu saja, di bawah pengawasan pemerintah Indonesia. Sayang, Bung Hatta tidak terlalu merinci bagaimana dan seperti apa koperasi macam itu dijalankan.
    Politik agraria Bung Hatta banyak merujuk pada hukum adat Indonesia. Kata Bung Hatta, dalam hukum adat Indonesia yang asli, tanah dianggap sebagai milik masyarakat.
    “Orang-seorang berhak memakainya sebanyak yang perlu baginya dan keluarganya. Hanya tak boleh menjualnya. Kalau tidak dipakai lagi, tanah itu kembali ke masyarakat,” paparnya.
    Dengan demikian, menurut Bung Hatta, semua tanah—termasuk yang dipergunakan oleh perkebunan besar—adalah kepunyaan masyarakat. Oleh karena itu, prinsip pengelolaan tanah oleh perusahaan besar tidak boleh berlawanan atau merugikan kepentingan masyarakat.
    Bung Hatta menegaskan, apabila tanah dianggap sebagai faktor produksi yang terpenting, maka pemakaiannya, selain untuk kediaman dan pekarangan rumah, hanya diperbolehkan untuk faktor produksi pula. “Tanah tidak boleh menjadi objek perniagaan, yang diperjual-belikan semata-mata untuk mencari keuntungan,” jelasnya.
    Lantas, bagaimana dengan nasib lahan kosong? Di jaman kolonial, tanah kosong dinyataan sebagai milik negara. Dan negara berhak menyewakannya kepada siapapun. Itulah yang disebut “domeinsverklaring”. Pada kenyataannya, hal itu justru memicu penguasaan tanah luas oleh swasta.
    Dalam konteks Indonesia merdeka, prinsip itu tidak dibenarkan. Bung Hatta berpendapat, negara Indonesia hanyalah alat rakyat untuk menyempurnakan kesejahteraan umum. Dan karena itu, negara tidak boleh bertentangan dengan rakyat.
    Terkait lahan kosong itu, Bung Hatta menganjurkan pemerintah menjadi “juru-kuasa”, yang mengurus dan mempergunakan tanah kosong itu untuk kepentingan umum. “Negara harus menggunakan tanah kosong itu untuk kemakmuran rakyat,” tegasnya.
    Pendek kata, kalau mau disimpulkan, politik agraria Bung Hatta adalah: tanah harus dijadikan sebagai faktor produksi utama, yang dimiliki secara kolektif oleh rakyat, dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
    Untuk diketahui, politik agraria Bung Hatta bukan hanya buah pikiran di atas kertas. Tahun 1946, tak lama setelah Konferensi Ekonomi di Yogyakarta, pemerintah RI melaksanakan Land Reform di daerah Banyumas, Jawa Tengah, sebagai uji-coba. Dikeluarkanlah UU nomor 13/1946 tentang penghapusan hak-hak istiwa yang dimiliki kaum elit desa di desa-desa perdikan di Banyumas.  Dalam prakteknya, tanah-tanah elit desa itu dipotong separuh untuk didistribusikan kepada petani tak bertanah.
    Kemudian, pada awal 1948, pemerintah mengeluarkan UU Darurat nomor 13/1948 tentang penghapusan “hak-hak konversi” dari perusahaan tebu yang berada di dua kesultanan, yaitu Jogjakarta dan Solo. Tanah-tanah tersebut kemudian didistribusikan kepada petani tunakisma.
    Tahun itu juga, pemerintah mulai membentuk Panitia Agraria—sering disebut Panitia Agraria Jogjakarta—untuk merumuskan Undang-Undang Agraria yang baru guna mengganti Undang-Undang Agraria kolonial 1870. Hasil kerja kepanitiaan ini sedikit-banyaknya berkontribusi dalam kelahiran UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960).
    Rudi Hartono
    (sumber////http://www.berdikarionline.com)

    No comments:

    Post a Comment