LMND BOGOR

Liga Mahasiswa Nasoinal Untuk Demokrasi Eksekutif Kabupaten Bogor

  • Wednesday, October 10, 2018

    Kronik Perjuangan Hak Pilih Perempuan Di Indonesia


    Hak pilih yang dinikmati oleh kaum perempuan Indonesia hari ini tidak datang cuma-cuma, bukan hadiah dari langit, dan tidak terberi secara alami. Dia adalah hasil perjuangan panjang, berliku, dan penuh pengorbanan.
    kunjungi juga website berdikari onlone mari berfikir maju
    Berikut ini kronik perjuangan perempuan Indonesia untuk hak pilih:
    1900: Isu-isu perempuan, yang awalnya dirintis oleh Kartini, mulai mendapat tempat di kancah pergerakan. Terutama soal hak mendapatkan pendidikan, penolakan terhadap poligami dan lain-lain. Sekolah-sekolah perempuan berdiri di banyak tempat.
    1908: Organisasi Asosiasi Hak Pilih Perempuan Belanda (Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht, sering disingkat: VVV) mendirikan cabangnya di Hindia-Belanda. Tujuannya adalah untuk menggencarkan kampanye hak pilih bagi perempuan.
    1910-an: organisasi perempuan mulai berdiri, seperti Poetri Mardika (1912), Keoetamaan Isteri (1913), Keradjinan Amai Setia (1914), Wanito Hadi (1915), Pawijatan Wanito (1915), Poerborini (1916), Pertjintaan Iboe Kepada Anak Temoeroen/PIKAT (1917), Aisjijah (1917), Wanita Soesilo (1918), Wanodjo Oetomo (1918), Sarekat Kaoem Iboe Soematra (1920), Wanita Oetomo (1921), Wanita Katholiek (1924), Kemadjoean Isteri (1926), Poetri Indonesia (1927), Mardi Kemoeliaan (1927), Ina Toeni (1927), Poetri Setia (1928), dan Wanita Sahati (1928), dan lain-lain.
    1915: VVV cabang Hindia-Belanda meminta Ratu Belanda untuk mendukung kesetaraan dalam pemilihan Dewan Kota. Namun, permintaan itu ditolak.
    1916: pemerintah Belanda mengeluarkan Undang-Undang tentang pembentukan dewan perwakilanabal-abal yang dinamai Volksraad (Dewan Rakyat). Dewan ini berperan sebagai badan penasihat yang hanya berhak memberikan usul-usul kepada pemerintah Hindia Belanda.
    1917: pemilihan anggota Volksraad pertama digelar. Dari 38 anggota Volksraad, hanya separuh yang dipilih. Sisanya diangkat langsung oleh Gubernur Jenderal. Pribumi sendiri hanya punya jatah 15 kursi: 10 dipilih, 5 diangkat. Perempuan belum punya hak pilih di pemilihan ini.
    1918: Pembukaan Volksraad oleh Gubernur Jendral Van Limburg Stirum. Tidak ada perempuan dalam Dewan Perwakilan ini.
    VVV cabang Hindia-Belanda melobi anggota Volksraad yang baru diangkat agar mendukung hak pilih perempuan. Mereka juga meminta Gubernur Jenderal membuka Pemilihan Dewan Kota untuk kaum perempuan.
    1919: perempuan di Negeri Belanda akhirnya mendapat hak pilih dalam pemilu. VVV kemudian menggencarkan kampanye hak pilih di negara jajahan. VVV cabang Hindia Belanda berganti nama menjadi Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht in Nederlands Indie (Asosiasi Hak Pilih Perempuan di Hindia-Belanda).
    1920: VVV berusaha merekrut aktivis pergerakan perempuan Indonesia. Ada dua tokoh perempuan yang akhirnya tercatat sebagai aktivis VVV, yaitu Rukmini Santoso (adik Kartini) dan Rangkayo Chailan Syamsu Datuk Tumenggung (aktivis anti pernikahan anak dari Sumatera Barat).
    VVV berusaha menjalin kontak dengan organisasi perempuan Indonesia untuk memasokkan kesadaran tentang hak-hak politik perempuan. Masalahnya: di satu sisi, organisasi perempuan Indonesia semakin terseret ke dalam gerakan nasionalis; di sisi lain, pimpinan VVV sama sekali tidak bersimpati dengan tuntutan kemerdekaan.

    No comments:

    Post a Comment