Dalam pola pemikiran neoliberal, peraturan-peraturan ekonomi harus menguasai sektor-sektor yang lain, bukan sebaliknya. Apa saja yang menghalangi perkembangan sektor ekonomi harus dihilangkan termasuk peraturan-peraturan dan undang-undang pemerintah. Akibatnya, negara terhambat dalam menjamin kesehatan rakyat, kesejahteraan, kedaulatan nasional dan melestarikan lingkungan hidup jika dianggap bahwa kebijakan-kebijakan itu menghambat pertumbuhan ekonomi. Akibat dari penerapan ekonomi neoliberal itu, dalam 20 tahun terakhir kesenjangan sosial semakin besar di hampir semua negara di dunia yang menerapkan kebijakan neoliberal.
KAPITALISME
Kapitalisme
adalah sebuah sistem produksi komoditi (dagangan), dimana alat-alat
produksi dimiliki secara pribadi oleh para pemilik modal (kapitalis),
sementara buruh yang tidak memiliki apa-apa selain tenaganya, menjual
tenaganya kepada para pemilik modal.
Skema sistem produksi kapitalisme adalah:
U – K – U+, U+ = U + n
U = uang
K = komoditi
n = nilai lebih
Uang
tidak akan pernah menjadi modal jika siklus pertukaran komoditinya K –
U – K. Siklus semacam itu bukanlah kapitalisme, namun hanya seperti
orang menjual radio untuk makan, dimana uang hanya menjadi alat
sirkulasi atau alat pertukaran dan perantara. Uang akan menjadi modal
ketika dipergunakan untuk menghisap tenaga kerja buruh, membeli
alat-alat produksi — barang-barang mentah — dan membeli tenaga kerja
buruh untuk produksi.
NILAI LEBIH
Kelas
buruh yang tidak memiliki alat produksi harus menjual tenaga kerjanya
untuk mendapatkan upah untuk membeli sejumlah barang untuk kebutuhan
hidupnya. Tetapi apakah upah itu? Bagaimana upah itu ditentukan?
Upah
adalah jumlah uang yang dibayar oleh kapitalis untuk waktu kerja
tertentu. Yang dibeli kapitalis dari buruh adalah bukan kerjanya
melainkan tenaga kerjanya. Setelah ia membeli tenaga kerja buruh, ia
kemudian menyuruh kaum buruh untuk selama waktu yang ditentukan,
misalnya untuk kerja 7 jam sehari, 40 jam seminggu atau 26 hari dalam
sebulan (bagi buruh bulanan).
Tetapi
bagaimana kapitalis atau (pemerintah dalam masyarakat kapitalis)
menentukan upah buruhnya sebesar 591.000 perbulan (di Jakarta misalnya)
atau 20 ribu per hari (untuk 7 jam kerja misalnya)? Jawabannya karena
tenaga kerjanya adalah barang dagangan yang sama nilainya dengan barang
dagangan lain. Yaitu ditentukan oleh jumlah kebutuhan sosial untuk
memproduksikannya (cukup agar buruh tetap punya tenaga untuk bisa terus
bekerja). Yaitu kebutuhan hidupnya yang penting yaitu kebutuhan pangan
(Misalnya 3 kali makan), sandang (membeli pakaian, sepatu dll) dan papan
(biaya tempat tinggal) termasuk juga untuk untuk menghidupi
keluarganya. Dengan kata lain cukup untuk bertahan hidup, dan sanggup
membesarkan anak-anak untuk menggantikannya saat ia terlalu tua untuk
bekerja, atau mati. Lihat misalnya konsep upah minimum yang ditetapkan
oleh pemerintah.
Jadi
upah yang dibayarkan oleh kapitalis bukanlah berdasarkan berapa besar
jumlah barang dan keuntungan yang diperoleh kapitalis. Misalnya saja
sebuah perusahan besar (yang telah memperdagangkan sahamnya di pasar
saham) sering mengumumkan keuntungan perusahaan selama setahun untung
berapa ratus milyar. Tetapi dari manakah keuntungan ini di dapat?
Jelas
keuntungan yang didapat dari hasil kegiatan produksinya. Tetapi yang
mengerjakan produksi bukanlah pemilik modal melainkan para buruh yang
bekerja di perusahaannya lah yang menghasilkan produksi ini. Yang
merubah kapas menjadi banang, merubah benang menjadi kain, merubah kain
menjadi pakaian dan semua contoh kegiatan produksi atau jasa lainnya.
Kerja kaum buruh lah yang menciptakan nilai baru dari barang-barang
sebelumnya.
Contoh
sederhana misalnya. Seorang buruh di pabrik garmen dibayar 20.000 untuk
kerja selama 8 jam sehari. Dalam 8 jam kerja ia bisa menghasilkan 10
potong pakaian dari kain 30 meter kain (1 kain @ 3 meter). Harga kain
sebelum menjadi pakaian permeternya adalah 5000 atau 150.000 untuk 30
meter kain. Sementara untuk biaya benang dan biaya-biaya produksi
lainnya (misalnya listrik, solar, keausan mesin dan alat-alat kerja
lain) dihitung oleh pengusaha sebesar 50.000 seharinya. Total biaya
produksi adalah 20.000 (untuk upah buruh) + 150.000 (untuk kain) +
50.000 (biaya produksi lainnya) sebesar 220.000. Tetapi pengusaha dapat
menjual harga satu kainnya sebesar 50.000 untuk satu potong pakaian atau
500.000 untuk 10 potong pakaian di pasaran. Oleh karena itu kemudian ia
mendapatkan keuntungan sebesar 500.000 – 220.000 = 280.000.
Jadi
kerja 8 jam kerja seorang buruh garmen tadi telah menciptakan nilai
baru sebesar sebesar 300.000. Tetapi ia hanya dibayar sebesar 20.000.
Sementara 280.000 menjadi milik pengusaha. Inilah yang disebut nilai
lebih. Padahal bila ia dibayar 20.000, ia seharusnya cukup bekerja
selama 32 menit dan dapat pulang ke kontrakannya. Tetapi tidak, ia tetap
harus bekerja selama 8 jam karena ia telah disewa oleh pengusaha untuk
bekerja selama 8 jam. Jadi buruh pabrik garmen tadi bekerja selama 32
menit untuk dirinya (untuk menghasilkan nilai 20.000 yang ia dapatkan)
dan selebihnya ia bekerja selama 7 jam 28 menit untuk pengusaha
(280.000).
Krisis Kapitalisme
Pertentangan mendasar dalam sistem kapitalisme adalah: bahwa produksi sifatnya sosial, produksi massal dan dikonsumsi orang banyak. Sementara kepemilikan terhadap alat-alat produksi dan hasil produksinya sifatnya pribadi.
Produksi terus-menerus mengalami spesialisasi, cabang-cabang produksi
berkembang, perusahaan-perusahaan meningkat (yang terus menyerap tenaga
kerja buruh dalam jumlah besar), bahkan kini berkaitan dengan pasar
nasional dan internasional. Makin membesarnya konsentrasi buruh ini
memberikan kapitalisme watak sosialnya.
Sementara,
ribuan alat-alat produksi yang dioperasikan oleh ratusan juta kaum
buruh, dan produk yang dihasilkannya menjadi milik pribadi
kapitalis. Pertentangan tersebut yang terus-menerus menyebabkan krisis
kelebihan produksi. Komoditi diproduksi terus-menerus tanpa batas, tanpa
perencanaan, demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Produksi
diperluas tanpa mempertimbangkan kebutuhan, hingga akhirnya karena daya
beli menurun, hasil produksi tersebut tidak terjual. Barang menumpuk
di gudang-gudang, PHK besar-besaran, nilai mata uang ambruk, inflasi dan
sebagainya.
Krisis
kapitalisme beberapa kali terjadi secara periodik. Krisis pertama
terjadi di Inggris pada tahun 1825. Pada tahun 1847-48 krisis menyapu
seluruh AS dan beberapa negeri di Eropa. Paling serius terjadi di abad
19 adalah pada tahun 1873, yang kemudian mendorong peralihan kapitalisme
dari pra-monopoli ke monopoli.
Kelahiran Kapitalisme
Beberapa
abad lalu, umat manusia pernah mengenal sistem feodalisme, yakni sebuah
sistem produksi dimana alat-alat produksi dimiliki oleh para tuan
tanah, bangsawan dan raja. Sementara kaum yang bekerja, berproduksi,
disebut dengan hamba, yang sebagian besar adalah petani. Bentuk
penindasan terhadap kaum hamba ini berupa kerja wajib.
Seorang hamba mengerjakan milik tuan tanah, dan kemudian sebagian
(besar) hasil produksinya diserahkan kepada mereka. Bedanya dengan
kapitalisme adalah: surplus produk yang dirampas oleh para tuan tanah
tersebut tidak dijual untuk profit, melainkan untuk dihambur-hamburkan;
untuk memenuhi gelimang kemewahan mereka. Demikian pula bagi produsen,
hasil produk tidaklah untuk dijual tapi dipakai untuk kebutuhan
sendiri. Penyebabnya adalah kekuatan produktif (teknologi, alat-alat
produksi, keahlian, dan sebagainya) sangat rendah sehingga
produktivitasnya pun rendah. Sistem produksi seperti ini dialami oleh
sebagian besar negara di Eropa, dan beberapa negeri Asia.
Nusantara (kemudian disebut Indonesia) memiliki ciri yang berbeda. Pertama,
di Eropa sebagian besar tanah dimiliki oleh para tuan tanah dan
bangsawan lokal, bukan oleh raja. Mereka lantas memberikan upeti
kepada para raja. Maka, tidak heran jika kebanyakan perebutan kekuasaan
feodal berasal dari para tuan tanah dan bangsawan lokal (baron).
Sementara di Nusantara, tanah sebagian besar dimiliki oleh raja. Para
bangsawan lokal hanya merupakan perpanjangan tangan raja. Maka,
perebutan kekuasaan yang kerap terjadi bukan dilakukan oleh para
bengsawan lokal, melainkan kalangan keluarga kerajaan; atau perang
dengan kerajaan lain. Kedua,
para petani bekerja dengan kerja wajib. Yakni kerja yang diberikan
kepada para bangsawan dan raja, baik di dalam lingkup rumah tangga sang
bangsawan atau raja, maupun di tanah-tanah para bangsawan. Sebagai
imbalan atas pengabdiannya sekian lama, kemudian sang majikan “memberi”
tanah untuk diolah guna mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Di samping sistem produksi feodal yang merupakan sistem paling dominan, telah berkembang pula sistem produksi lain yakni kerajinan
dan perdagangan, yang masih menjadi obyek wewenang para bangsawan.
Artinya, bangsawan memegang kontrol terhadap aktivitas ekonomi lain
secara tidak langsung — para pemilik kerajinan dan pedagang harus
membayar upeti, pajak dan sebagainya–.
Terjadilah
perkembangan tenaga-tenaga produktif dalam sistem feudal ini.
Teknik-teknik produksi diperbaiki, alat-alat kerja besi dan baja mulai
diperkenalkan secara intensif, alat-alat kerja kerajinan dan metode
pemrosesan bahan mentah mengalami perbaikan (mulai menggunakan perapian,
dan sebagainya) dan kerajinan pun mulai terspesialisasi. Gejala
tersebut merebak sekitar abad 15.
Seiring
dengan pesatnya perkembangan perdagangan dan kota-kota, pedesaan pun
lantas terseret masuk dalam ekonomi uang. Metode produksinya berubah
menjadi sewa tanah dengan uang, bukan dengan kerja. Hal ini terjadi
lantaran para tuan tanah membutuhkan uang untuk memenuhi kehidupan
mewahnya. Eksploitasi feodalisme menjadi semakin intensif dengan
berkembangnya sistem sewa uang.
Di
sektor perdagangan, dengan ditemukannya benua-benua baru (Afrika,
Amerika Latin, dan Asia) untuk pasar dan perampasan bahan-bahan mentah,
mendorong produksi kerajinan semakin berkembang. Skala operasi produksi
meluas karena meluasnya permintaan pasar. Ada satu gejala penting
berkaitan dengan perkembangan perdagangan, yakni para pedagang mulai
memegang kontrol terhadap produksi kerajinan dan pertanian. Mulanya,
para pedagang hanya sebagai perantara dalam pertukaran komoditi, tetapi
karena menguasai pasar dan bahan mentah, mereka kemudian menjadi
dominan. Mereka telah menjadi pembeli sistematis dari para produsen,
baik pertanian maupun kerajinan. Juga menjadi pernyuplai bahan-bahan
mentah, dan tentunya uang. Dalam keadaan seperti itu, para produsen
secara ekonomi menjadi tergantung. Pada tahap berikutnya, para pedagang
ikut “memaksa” kerajinan tangan untuk mengubah dirinya menjadi
bengkel-bengkel yang bukan lagi mempekerjakan sedikit perajin, tetapi
buruh upahan dalam jumlah yang besar. Modal dagang berubah menjadi
modal industri.
Di pedesaan, masuknya uang jugalah yang membelah petani ke dalam borjuasi desa (pemilik modal) yang kaya dan petani miskin.
Sistem
produksi kapitalis menjadi eksis dalam feodalisme di kota dan desa.
Karena sifat feodalisme menghambat perkembangan sistem produksi
kapitalis, dengan sendirinya feodalisme ini pun tumbang. Di desa,
perkembangan ekonomi uang telah bertabrakan dengan sistem sewa uang,
yang tentunya menghambat kemajuan perluasan modal para borjuasi desa.
Sementara, industri-industri di kota, di satu sisi, menghadapi persoalan
kekuasaan feodal dengan upeti, dan pajak yang tinggi. Di sudut lain,
borjuasi atau kapitalis kota menghadapi masalah tenaga kerja buruh, yang
tentunya harus didapat dari desa, yang berada di bawah kontrol
kekuasaan feodal. Dalam situasi seperti itu maka kehancuran feodalisme
adalah sebuah keharusan sejarah. Sebagai hasil dari perjuangan kelas
yang tanpa ampun antara borjuasi dan petani melawan tuan-tuan bangsawan.
Pemberontakan-pemberontakan petani telah meluluh lantakkan fondasi
sistem feodal dan menyeretnya ke jurang kehancuran. Borjuasi, desa dan
kota, memimpin perlawanan perjuangan anti-feodal dan memanfaatkan
pemberontakan-pemberontakan tersebut untuk menghantarkannya menjadi
kelas penguasa, secara ekonomi dan politik.
Contoh
perjuangan kelas yang tuntas terjadi di Perancis pada akhir abad 1789.
Sementara di Inggris lebih banyak terjadi proses pelemahan-pelemahan
kekuasaan feodal yang terus-menerus, dengan cara perlahan.
Di
Indonesia (Hindia Belanda tepatnya, karena belum ada sebutan Indonesia
saat itu), berkembangnya kapitalisme bukan melalui perjuangan yang
“tuntas” antara kelas borjuasi melawan feodalisme — walaupun pada
kenyataannya kapitalisme harus menyingkirkan seteru utamanya, para
priyayi — tapi lebih karena dicangkokkan oleh kolonialisme. Kemajuan
tenaga-tenaga produktif — yang merupakan dasar dari perkembangan
kapitalisme dan pertentangan kelas antara borjuasi dan bangsawan — bukan
berasal dari hasil penemuan-penemuan “dalam negeri”, hasil kemajuan
teknologi dari rahim Nusantara, tapi dibawa oleh kolonialisme. Hingga
akhir abad 19, setelah selesai tanam paksa banyak dibangun pabrik gula
(terutama di Jawa), kereta api mulai diperkenalkan dan modal-modal asing
di pertanian berebut masuk. Gejala tersebutlah yang telah
menghancurkan tatanan lama “feodalisme Nusantara”. Satu perubahan
penting — yang merupakan indikasi dari perkembangan kapitalisme di
Hindia Belanda — adalah pendirian pabrik-pabrik gula, telah menciptakan
satu kelas baru, yakni buruh yang berasal dari petani yang kehilangan
tanahnya akibat perluasan perkebunan tebu.
Perkembangan Kapitalisme
Salah satu basis dari perkembangan kapitalisme pada akhir abad 18, di samping dengan menghancurkan tatanan feodalisme, adalah revolusi industri
— sebuah nama yang diberikan oleh Engels terhadap proses transisi
ketika Inggris menjadi negeri kapitalis pada akhir abad 18. Pada masa
itu, Inggris dan juga Eropa, mengalami perubahan-perubahan cepat di
bidang teknologi. Penemuan-penemuan penting telah terjadi, dari mesin
uap, mesin transportasi dan terutama penemuan mesin-mesin di cabang
industri tekstil. Hasilnya, teknik-teknik pemintalan dan penenunan pun
berubah secara radikal. Industri tekstil tidak lagi mempekerjakan
beberapa perajin yang hanya menggunakan alat-alat jahit sederhana,
tetapi alat modern yang menyedot ratusan buruh. Produktivitas pun jauh
melonjak dibanding sebelumnya. Demikian halnya dengan mesin uap yang
sangat berpengaruh pada kemampuan produksi, industri tidak lagi
tergantung pada suplai air dari sungai, tetapi dengan mesin yang dapat
menjadi bank air. Transpotasi telah membuat jarak antar kota dan desa
semakin dekat dan mudah ditempuh.
Dalam
situasi seperti ini, konsentrasi produksi adalah suatu yang tak
terelakkan. Cara-cara produksi kerajinan telah tersingkirkan, bangkrut
karena tidak mampu bersaing bahkan ditelan oleh industri-industri
manufaktur besar. Cabang-cabang produksi yang pada sistem produksi
kerajinan terpisah-pisah kini telah disatukan dalam pabrik-pabrik
besar. Kelas buruh, satu kelas baru yang pada masa berikutnya menjadi
seteru penguasa baru, telah muncul. Inilah satu hal yang terpenting
dari perkembangan kapitalisme bersamaan dengan perkembangan revolusi
industri. Kapitalisme telah menghancurkan feodalisme; ia telah
meniadakan pertentangan yang tak kenal ampun antara borjuasi dengan
bangsawan. Namun, bukan berarti pertentangan sudah tidak ada lagi,
justru muncul yang baru, pertentangan antara kelas buruh dan borjuasi.
Pada
awal abad 19 terjadi beberapa kali perlawanan kelas buruh yang
diarahkan terhadap mesin-mesin produksi. Mereka menilai, mesin itulah
penyebab dari segala penindasan. Perlawanan terbesar terjadi pada tahun
1815 di Inggris. Gerakan meluas ke seluruh pusat industri, secara
terorganisir (dalam sejarah kemudian dikenal dengan gerakan Luddites).
Dengan cepat, kelas penguasa melibas gerakan tersebut, beberapa
pemimpin buruh ditangkap dan sebagian lainnya dihukum mati.
Dimotivasi
oleh tuntutan-tuntutan perubahan politik dan ekonomi, pada tahun 1817
gerakan berubah menjadi revolusioner, dengan tuntutan diantaranya adalah
kebebasan berkumpul, berorganisasi dan kebebasan pers. Dua tahun
berikutnya, gerakan yang telah mengalami kulminasinya dipukul kembali,
kemudian dikenal dengan “Manchester Massacre 1819”.
Titik
puncak gerakan buruh terjadi pada awal abad 20, ketika kaum buruh Rusia
merebut kekuasaan politik dari tangan borjuasi pada bulan Nopember
1917.
Di
Indonesia, gerakan buruh dimulai di permulaan abad 20, yang pada masa
awal dipimpin oleh faksi radikal dari Serikat Islam. Tentu, gerakan
buruh yang tumbuhnya seiring dengan maraknya organisasi-organisasi
modern tersebut memiliki nuansa yang berbeda dengan Eropa. Ia tidak
hanya melawan penindasan ekonomi kapitalisme, tetapi juga kolonialisme.
IMPERIALISME
Sepanjang
pertengahan akhir abad 19 kapitalisme memasuki tahap yang tertinggi.
Dengan cirinya yang utama adalah: dalam tahap ini kapitalisme telah
menyingkirkan “semangat kompetisi bebas” — yang selalu diusung-usung
sebagai pembenaran atas penghisapan — dengan monopoli.
Tenaga-tenaga produktif mengalami perkembangan pesat, metode-metode
baru dalam produksi diperkenalkan, terutama metode pengolahan baja dan
besi. Masih dalam periode yang sama, penemuan-penemuan penting lain
terjadi, seperti dinamo, mesin uap, turbin dan sebagainya. Perkembangan
industri dan transportasi pun makin cepat karenanya.
Tahap kapitalisme monopoli ditandai oleh ciri-ciri dasar sebagai berikut: 1) konsentrasi produksi dan modal; 2) fusi, merger atau penggabungan modal bank dengan modal industri dan munculnya dengan suatu oligarki financial; 3) ekspor modal; 4) terbentuknya perusahaan-perusahaan monopoli internasional yang membagi-bagi dunia ke dalam genggamannya.
Konsentrasi Produksi dan Monopoli
Dalam
kapitalisme lama, satu komoditi yang sama dijual oleh kapitalis yang
berbeda. Sehingga, membuat sebagian kapitalis menjadi semakin kaya
sementara yang lainnya jatuh karena persaingan. Kompetisi bebas tersebut
melahirkan konsentrasi produksi dalam perusahaan-perusahaan besar, yang mempekerjakan ratusan bahkan ribuan buruh.
Sebagai
contoh, di Jerman pada tahun 1882, prosentase jumlah
perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 50 buruh sebesar 22
%, tahun 1895 sebesar 30 %, 1907 sebesar 37 %, tahun 1925 sebesar
47,2 %, tahun 1939 sebesar 49, 2%. Pada tahun 1955, di Jerman Barat
jumlah perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 50 buruh, sebesar 87,1
%. Kenyataan tersebut menunjukkan peningkatan konsentrasi produksi dan
modal di Jerman. Di negeri lain, AS misalnya, hingga tahun 1904
prosentase jumlah perusahaan-perusahaan besar yang output
tahunannya mencapai satu juta US dollar atau lebih, sebesar 0,9 %.
Dalam perkembangannya, mereka kemudian mempekerjakan 25, 6 % dari
seluruh jumlah buruh, dan memproduksi 38 % out put
AS. Dalam tahun 1939, perusahaan-perusahaan besar AS, yang prosentase
jumlahnya 5,2 % dari seluruh industri AS, telah mempekerjakan 55 % dari
seluruh jumlah buruh, dan memproduksi 67,5 out put industrial. Tahun 1955, 500 perusahaan-perusahaan industri memproduksi setengah dari seluruh jumlah out put
industri dan memperoleh 68 % dari seluruh jumlah keuntungan. Dari 500
perusahaan-perusahaan tersebut, 50-nya membangun 0,05 % dari seluruh
jumlah out put dalam industrial proses – atau hampir seperempatnya (Nikitin: 1963).
Sekarang, tentunya prosentase tersebut telah beratus-ratus kali lipat. Disamping terkonsentrasi, modal juga menjadi tersentralisasi. Yakni merger
dari modal yang terpisah-pisah milik beberapa kapitalis, ke dalam satu
modal besar. Hal tersebut dapat terjadi melalui kesepakatan, seperti
misalnya ketika joint stock company
(perusahaan join) dibentuk, atau dengan paksaan, ketika modal-modal
besar menyingkirkan atau bahkan melahap perusahaan-perusahaan yang lebih
kecil.
Konsentrasi
dan sentralisasi mengarah pada monopoli. Persaingan antar kapitalis
disadari membawa dampak negatif terhadap mereka akhinya mendorong
terjadinya kesepakatan bersama demi tujuan pembagian pasar dan
eksploitasi bahan-bahan mentah, penetapan harga dan sebagainya. Itulah
monopoli.
Monopoli
adalah sebuah kesepakatan antara, atau asosiasi dari kapitalis pemegang
kontrol produksi atau penjualan (seringnya produksi dan penjualan
sekaligus) atas bagian terbesar dari komoditi tertentu. Apapun bentuk
asosiasinya, tujuannya tetap mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Asosiasi-asosiasi monopolis muncul terutama di cabang-cabang industri
berat, dimana produksi telah terkonsentrasi. Ketika telah memegang
kontrol terhadap industri berat, monopoli menyebar ke cabang-cabang
industri lainnya, menelan pesaing-pesaingnya.
Bentuk-bentuk asosiasi monopolis bervariasi, dan pada awalnya merupakan kesepakatan short term
(waktu yang relatif pendek) antara individual kapitalis berkaitan
dengan harga. Sementara kesepakatan yang berjangka waktu relatif panjang
(long term), bentuk-bentuknya seperti Kartel, Syndicate, Trust, dan Concern.
Dalam
imperialisme, asosiasi-asosiasi monopolis mendominasi ekonomi di
negeri-negeri kapitalis. Mereka merengkuh seluruh cabang-cabang
industri, transportasi, perdagangan, asuransi, dan perbankan. Di AS
tahun 1959, sebagai contoh, industri baja dan besi didominasi oleh 17
perusahaan monopolis, yang memegang kontrol 94 % kapasitas produksi
baja. Dua diantaranya – U.S. Steel Corporation dan Bethlehem Steel
Corporation – mengontrol setengah dari kapasitas produksi baja di negeri
itu. Di bidang industri automobile
ada tiga perusahaan monopolis; General Motors, Ford, dan Chrysler,
yang pada tahun 1958 memegang kontrol 93 % produksi mobil. Pada Perang
Dunia II mereka memproduksi seluruh transportasi, 75 % mesin
penerbangan, 40 % tank dan 30 % artileri, mesin-senjata dan sebagainya.
Perusahaan-perusahaan
monopolis besar di Inggris, seperti juga di AS, memegang kontrol
terhadap ekonomi negerinya. British Iron dan Steel Federation, sebagai
contoh, telah menggabungkan seluruh perusahaan-perusahaan baja dan besi
di seluruh negeri. Perusahaan monopolis yang terbesar adalah Vickers
Armstrong. Selama Perang Dunia II Vickers Armstrong telah menjual kepada
pemerintah Inggris 28.000 pesawat terbang, 164.000 senjata berat Di
bidang industri kimia, perusahaan monopolis terbesar adalah Imperial
Chemical Industries, yang memegang kontrol 95 % produksi kimia dasar.
Demikian halnya di Perancis, sebuah kartel, Alluminium Francais,
mengontrol seluruh produksi aluminium. Sementara produksi mobil
terkonsentrasi di tangan empat perusahaan monopoli.
Monopoli
bukan berarti telah menyingkirkan kompetisi sepenuhnya, seperti yang
selalu digembar-gemborkan oleh para ideolog borjuis. Jarang ada satu
perusahaan monopolis menguasai 100 % monopoli dari seluruh industri.
Kompetisi akan terus berlangsung di antara para kapitalis monopolis.
Mereka bertarung satu sama lain demi perluasan pasar dan eksploitasi
sumber-sumber daya alam, yang diakhiri dengan kesepakatan atau bahkan
dengan perang sekalipun.
Modal Finansial dan Oligarki Finansial
Konsentrasi produksi dan formasi monopoli dalam industri, tak pelak, telah mengarah pada konsentrasi modal dalam bank dan monopoli perbankan.
Kompetisi di antara bank berakhir dengan hancurnya bank-bank yang lebih
kecil, atau bank-bank yang lebih kecil menjadi subordinat, dikontrol
oleh yang lebih besar. Tahun 1900 di AS, sebagai contoh, sebanyak 10.382
bank memegang aset 10.785 juta US dollar, tetapi di tahun 1940
jumlahnya meningkat, yakni ada 15.017 bank dengan aset sebesar 80.213
juta US dollar. Berarti, selama 40 tahun jumlah bank meningkat hanya 50
%, sementara assetnya meningkat delapan kali lipat. Tahun 1900, 20 bank
besar di AS memiliki 15 % jumlah deposit, dan pada tahun 1956 menjadi 37
%.
Konsentrasi
dan monopoli bank telah mengubah hubungan antara bank dan industri.
Awalnya, bank hanya berfungsi sebagai perantara dalam pembayaran.
Seiring dengan perkembangan kapitalisme, operasi kredit bank meluas.
Konsentrasi dan sentralisasi bank menciptakan situasi di mana bank
mendapatkan kekuatan ekonomi yang begitu besar. Ketika bank memegang
uang kapitalis, sebagai konsekuensinya, bank mengetahui sepak terjang
kliennya, mendapatkan kontrol terhadapnya, dan dengan kreditnya — yang
bisa dengan mudah atau sukar didapat — menempatkan kapitalis industri di
dalam posisi subordinat dan dapat mengarahkan aktivitasnya.
Jadi,
dari sekedar fungsi perantara dalam hal pembayaran, bank telah menjadi
pusat finansial yang memiliki kekuatan penuh. Peralihan dari bank
menjadi monopolis besar, dengan demikian, semakin mempercepat
konsentrasi produksi. Hal ini terjadi karena bank memberikan kredit
kepada perusahaan-perusahaan besar monopolis. Bank mulai membeli saham
di dalamnya. Mereka membeli cukup saham untuk menjamin bahwa mereka
memiliki suara yang menentukan dalam monopoli. Sebaliknya, para
kapitalis industri juga memiliki saham di bank. Hasilnya adalah
antar-hubungan, kerjasama, koalisi, antara monopoli bank dengan modal
industri. Ini menjadi basis bagi kelahiran sebuah modal finansial.
Koalisi antara modal bank dan industri mengambil berbagai bentuk. Yang paling kuat adalah personal union,
yakni ketika orang yang sama memegang kontrol terhadap bank, industri,
perdagangan, dan monopoli lainnya. Di Indonesia terlihat nyata, seperti
Liem Soe Liong, atau bahkan “Soeharto” yang memegang monopoli bank dan
sekaligus banyak cabang industri.
Pertumbuhan
monopoli dan modal finansial membentuk lingkaran kecil orang yang
menempati posisi yang dominan, tidak hanya ekonomi tapi juga politik.
Lingkaran-lingkaran tersebut yang kita kenal dengan oligarki finansial.
Seluruh cabang ekonomi penting dan seluruh posisi kunci dalam alat-alat
politik di negeri-negeri kapitalis berada di tangan oligarki finansial.
Di
AS, sebagai contoh, peran yang menentukan dalam ekonomi ada dalam
cengkeraman kelompok-kelompok finanisial, seperti Rockefeller, Morgan,
Duport, Mellon, Bank of America, Chicago Bank, Cleaveland Bank, dan
First National City Bank. Di tahun 1955, total modal yang dikontrol
oleh kelompok-kelompok tersebut sebesar 218.500 juta US dollar. Yang
terbesar adalah Rockefeller dan Morgan.
Di
Inggris kelompok-kelompok ini mendominasi kehidupan perekonomian
negeri. Mereka memegang kontrol terhadap industri-industri utama.
Oligarki finansial, seperti dikatakan di atas, tidak hanya mencengkeram ekonomi, tetapi juga kehidupan politik, melalui merger
antara monopolis dengan mesin-mesin negara, birokrasi, tentara, dan
sebagainya. Mereka dengan mudah mendikte kebijakan-kebijakan
pemerintah dan parlemen. Di Indonesia pada masa orde baru, para oligarki
finansial bukan hanya memiliki pengaruh terhadap kebijakan parlemen dan
pemerintah, bahkan mereka sendiri menjadi aparatusnya.
Ekspor Modal dan Pembagian Dunia
Sebelum
jaman imperialis, bentuk utama dari hubungan ekonomi antar-negeri
adalah ekspor komoditi. Di bawah imperialisme, bukan lagi komoditi yang
diekspor. Pada era imperialisme perdagangan dunia berkembang, namun
ekspor modal menjadi penting. Ekspor modal menjadi basis bagi
eksploitasi terhadap negeri-negeri dunia ketiga oleh beberapa negeri
imperialis besar. Aturan yang berlaku adalah “surplus” modal menimbun di
negeri-negeri kapitalis maju.
Modal diekspor ke luar dalam dua bentuk: modal pinjaman dan modal produktif. Ekspor modal pinjaman
terjadi ketika pinjaman tersedia bagi pemerintah atau negeri lain.
Negeri yang menerima pinjaman tersebut harus membayar. Dalam hal ini,
bagian terbesar dari nilai lebih yang diciptakan oleh buruh di negeri
tersebut dialirkan ke negeri yang mengekspor modal tersebut. Ekspor
modal produktif terjadi ketika kapitalis membangun perusahaan-perusahaan
industri di negeri-negeri lain. Seperti contoh, sebuah joint stock companie yang dibangun AS untuk eksploitasi sumber daya minyak di Amerika Latin.
Ekspor
modal membawa akibat hubungan ekonomi yang lebih luas. Namun, hubungan
ekonomi tersebut berarti perampasan terhadap negeri-negeri yang
terbelakang oleh negeri-negeri maju.
Kaum
monopolis di negeri-negeri kapitalis berupaya untuk tidak membagi
dominasi pasar dalam negeri. Mereka memisahkan pasar, menjaga harga pada
level yang tinggi dan membuat keuntungan besar. Untuk mempertahankan
tingginya harga, monopolis berupaya memproteksi pasar dalam negeri
terhadap kompetisi asing. Pemerintah memberlakukan tarif impor tinggi,
kadang bahkan menghancurkan komoditi impor tertentu. Namun, pasar dalam
negeri sangat terbatas, maka untuk membesar keuntungan, monopolis harus
menjual di pasar asing. Bagaimana mungkin mereka melakukannya manakala
pasar-pasar tersebut diproteksi oleh tingginya pajak impor? Demi
meniadakan pajak impor yang tinggi mereka mengekspor modal. Kapitalis
membangun pabrik-pabrik di negeri-negeri lain. Lantas membanjiri pasar
dengan komoditinya.
Perjuangan
menguasai pasar asing, eksploitasi sumber-sumber bahan mentah dan
memperbesar penanaman modal mengarah pada suatu pembagian ekonomi dunia
di antara para monopolis. Dalam industri, ketika beberapa syndicate memegang peran di dunia kapitalis, sebuah kondisi terciptakan bagi formasi monopolis internasional.
Monopoli internasional berkembang pada dekade 1860-an dan 1890-an. Pada
akhir abad 19 ada kira-kira 40 monopolis, dan pada awal Perang Dunia
Kedua (1939) lebih dari 300.
Sepanjang
masa peralihan imperialisme, penaklukan koloni-koloni diintensifkan.
Antara tahun 1876 dan 1914, kekuatan-kekuatan besar telah menggenggam
dalam cengkeramannya 25 juta kilometer persegi daerah koloni. Bagian
terbesar didapat oleh Inggris. Pada tahun 1876 Inggris memiliki daerah
koloni sebesar 22,5 juta kilometer persegi, namun pada tahun 1914
meningkat 11 juta kilometer persegi lagi. Jerman, AS dan Jepang yang
sebelumnya tidak memiliki daerah koloni, pada tahun 1914 teolah merebut
14,1 juta kilometer persegi.
Pada
awal abad 20 pembagian dunia telah sempurna, tidak ada lagi daerah yang
“bebas”. Perang pertama untuk pembagian dunia terjadi pada tahun 1898,
yakni antara AS dan Spanyol. Akibat dari perang tersebut imperialis AS
merebut Filipina, Puerto Rico, Guam, Cuba, Hawaii dan Samoa.
Perang
Dunia I dan II adalah upaya untuk membagi-bagi kembali dunia. Asia
milik siapa, Amerika Latin milik siapa, dan Afrika miliki siapa.
Globalisasi: Topeng Baru Imperialisme
Imperialisme tengah memakai topeng barunya: “globalisasi“.
Istilah tersebut digembar-gemborkan oleh para ekonom, pengamat, dan
politisi borjuis, sebagai sebuah era baru di mana batas-batas nasional,
bangsa, negeri, dan budaya menjadi tidak relevan lagi. Dunia telah
disatukan. Batas-batas negeri telah dinihilkan. Padahal sesungguhnya,
“globalisasi” ini hanyalah sebuah pembenaran; sebuah legitimasi atas
pengendalian terhadap hajat hidup orang banyak di tangan
perusahaan-perusahaan multi-nasional; atas pengerukan kekayaan alam
negeri dunia ketiga oleh dunia pertama.
Sebagai
gejala, “globalisasi” sebenarnya telah terjadi sejak 500 tahun lalu,
ketika para pedagang Eropa mulai merampas bahan-bahan mentah, membuka
pasar dan membangun kerajaan dagang dunia di negeri-negeri Asia, Afrika
dan Amerika Latin — yang disebut dengan negeri-negeri dunia ketiga–guna
mengeksploitasi dunia ketiga dan mengakumulasi modal dunia pertama.
Fenomena tersebut dinamai dengan internasionalisasi produksi dan penjualan komoditi: internasionalisasi nilai lebih.
“Globalisasi”, internasionalisasi nilai lebih tersebut meningkat sejak
abad 19 hingga PD I ( waktu itu ekspor meningkat dari 3 % output seluruh dunia tahun 1800 menjadi 16 % pada tahun 1913).
“Globalisasi” yang sekarang, memiliki watak yang berbeda, dapat disebut sebagai internasionalisasi kekuasaan pengendalian modal. Ia bukan lagi komoditi yang terinternasionalisasi, tetapi kekuatan pengendali modal.
Modal-modal yang digabungkan (merger),
bukan hanya modal-modal kapitalis yang ada dalam satu negeri.
Modal-modal yang menguasai hajat hidup orang banyak, dan yang dari
berbagai negeri tersentralisasi dan terkonsentrasi ke dalam badan-badan
penentu kebijakan tunggal, secara internasional. Jadi, monopoli tidak
lagi dikuasi oleh modal nasional tetapi internasional; tidak lagi
dijalankan oleh imperialis dari satu negeri, tetapi secara bersamaan
dari berbagai negeri. Pendek kata, mari kita rampok dunia ketiga bareng-bareng !!.
Lebih dikenal dengan perusahaan-perusahaan multi-nasional atau Multi National Coorporation (baca
MNC). Menurut Laporan Investigasi Dunia 1993 yang diterbitkan oleh PBB,
ada sekitar 37.000 perusahaan internasional, yang memiliki 170.000 anak
perusahaan di luar negeri. 90 % dari perusahaan tersebut berkantor
pusat di negara-negera maju.
Hal tersebut yang digembar-gemborkan oleh para ekonom, pengamat dan Ilmuwan borjuis sebagai “globalisasi” — konsentrasi
nilai yang diproduksi masyarakat dunia ke tangan segelintir
multinasional dalam bentuk penyatuan modal bank, finansial dan produksi.
Kekuatan
ekonomi perusahaan multi-nasional jauh lebih besar ketimbang di
negara-negara nasional. Contohnya, penjualan mereka telah meningkat
menjadi 5,5 milliar dollar, 90 % yang dibuat negara imperialis Utara dan
hanya 10% dibuat di negara produsen Selatan. Sejalan dengan kekuatan
ekonominya, langsung atau tidak langsung, perusahaan multinasional
memiliki kekuatan politik tak terbatas melampaui negara nasional, yang
dapat menyetir negara-negara, terutama negara dunia ketiga. Trilliunan
dollar keluar masuk sebagai gerak internasional modal finansial. Total
asset stock of financial assets
meningkat dari US $5 trillion di 1980 menjadi US $ 35 trilliun di 1992
dan diharapkan melebihi US $ 80 trilliun pada tahun-tahun belakangan ini
— tiga kali lebih besar dari nilai total barang-barang dan jasa yang
diproduksi oleh aktivitas ekonomi negeri-negeri kapitalis maju. Dan
hasil “globalisasi”: pengukuhan oligarki finansial Amerika —
Rockefellers, Mellons, Morgans, Duponts, Whitneys, Warburgs,
Vanderbilts, dan lain-lain– yang bukan saja menguasai bank-bank dan
perusahaan-perusahaan asuransi, namun juga perusahaan-perusahaan
industri tidak saja di Amerika, tapi di dunia.
Kekuasaan
perusahaan-perusahaan tersebut jauh lebih besar ketimbang negara-negara
“induk”, apalagi negara-negara dunia ketiga. Mereka tidak hanya
mengontrol kebijakan-kebijakan negara-negara induk, tetapi juga dapat
mendikte kebijakan-kebijakan negara-negara dunia ketiga; dapat
memaksakan utang dan pembayaran utang; memaksakan pergantian sebuah
pemeritahan di dunia ketiga, dan sebagainya.
NEOLIBERALISME
Krisis Kapitalisme dan Percobaan Menjawabnya
Kapitalisme
akan selalu mengalami pertentangan di dalamnya. Dalam perkembangannya,
kapitalisme mengikat massa kelas buruh dalam jumlah besar, dan
mengakibatkan pembagian kerja makin meluas. Cabang-cabang industri yang
sebelumnya terpisah-pisah, independen satu sama lain, telah dipersatukan
dalam produksi yang kait-mengkait. Hubungan-hubungan ekonomi mengikat
perusahaan, wilayah, negeri, yang pada perkembangannya makin mendorong
terjadinya sosialisasi kerja dan sosialisasi produksi kapitalis yang
terus-menerus. Kapitalis memproduksi komoditi yang menguasai hajat hidup
orang banyak.
Inilah basis dari pertentangan yang selalu ada (inheren) dalam kapitalisme: produksi memiliki watak sosial, sementara alat-alat produksi dimiliki secara pribadi.
Pertentangan tersebut makin meruncing seiring dengan perkembangan pesat
kapitalisme (perkembangan sosialisasi kerja dan perkembangan
sentralisasi dan konsentrasi modal) yang bermuara pada krisis kelebihan
produksi. Seperti pernah terjadi pada pertengahan akhir abad 19,
awal-awal abad 20, 1974-1975, 1980-1983, 1990-1993. Krisis tersebut
terjadi karena over produksi
komoditi. Penyebabnya dari watak kapitalisme itu sendiri, yang karena
didorong motivasi mengeruk laba sebanyak mungkin, ia berproduksi terus
menerus tanpa perencanaan, yang pada gilirannya menurunkan tingkat
keuntungan karena komoditi tak terbeli.
Pada
awal abad 20, tepatnya pada akhir tahun 1920-an, terjadi stagnasi dan
resesi besar-besaran. Kelebihan produksi komoditi secara massal,
sementara komoditi tidak terjual akibat daya beli ambruk. Structural overcapacity (kelebihan kapasitas secara struktural) dan pasar uang menyebabkan ledakan spekulasi stock-market.
Kapitalisme mencoba mengatasi krisis tersebut dengan jalan meningkatkan
tingkat bunga guna menahan laju permintaan kredit konsumsi — yang akan
meningkatkan harga-harga inflatory barang-barang dan jasa-jasa. Namun di tahun 1929 stock-market
mengalami kehancuran, harganya merosot drastis akibat tak terjual.
Akibatnya banyak investor dan kreditor bangkrut dan investasi produksi
baru menurun. US Federal Reserve
tidak bisa lagi mempertahankan sistem perdagangan internasional yang
melibatkan bantuan antar-pemerintah secara besar-besaran. Negeri-negeri
kapitalis yang saling bersaingan meningkatkan proteksinya.
Pada
tahun 1933, di Amerika pengangguran meningkat menjadi 13 juta orang
akibat krisis. Krisis sosial-politik potensial siap meledak, yang bukan
saja berpengaruh pada Amerika namun juga seluruh dunia. “Liberalisme”,
“pasar bebas”, “persaingan bebas”, “tanpa adanya kontrol”, yang bermuara
pada pengertian kebebasan kaum kapitalis untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, yang selama ini dianut oleh kapitalisme dengan maestronya Adam Smith dianggap telah mengalami kegagalan.
Datanglah
John Maynard Keyness dengan teorinya yang menyatakan bahwa liberalisme
bukanlah cara terbaik bagi pertumbuhan kapitalisme. Inti pendapatnya
adalah, bahwa full employment
(keadaan tanpa pengangguran) adalah hal yang diperlukan dalam rangka
pertumbuhan kapitalisme. Keadaan tersebut hanya dapat dicapai bila
pemerintah dan bank sentral turut campur untuk menurunkan tingkat
pengangguran. Menurut Keyness, negara kemudian tidak hanya diharapkan
menjaga ketertiban umum berdasarkan perangkat hukum; menyediakan
prasarana umum dan sosial yang memadai; melaksanakan program
pemberantasan kemiskinan dan ketimpangan sosial — seperti yang dikatakan
oleh Adam Smith – saja; tetapi juga ikut serta secara langsung dalam
investasi di bidang industri. Negara tidak boleh hanya menjadi parasit,
tetapi sekaligus juga investor. Ide tersebut mempengaruhi presiden AS,
Roosevelt, untuk membuat program New Deal di tahun 1935, program yang
ditujukan untuk “meningkatkan kesejahteraan banyak orang”, meningkatkan
daya beli. Presiden Roosevelt kemudian mendorong administrasinya campur
tangan lebih besar dalam kehidupan ekonomi dengan memusatkan
perhatiannya dalam menciptakan lapangan kerja secara massal. Pada musim
dingin 1933-1934 saja sudah 4 juta orang bisa mendapat lapangan
pekerjaan dalam program-program pekerjaan umum, di atas basis anggaran
belanja defisit dan Social Security Act of 1935.
Apa yang dilakukan oleh Roosevelt dengan New Deal-nya merupakan suatu
pengakuan bahwa dalam perusahaan-perusahaan monopolistik dan dominasi
modal uang, ekonomi kapitalis membutuhkan intervensi negara, bila hanya
mengandalkan mekanisme pasar semata, maka ia akan hancur. Hanya negara
yang sanggup melanggengkan kapitalisme. Memang hanya dalam dua tahun,
1936-1937, telah terjadi perbaikan terhadap ekonomi Amerika, bisa
menyelesaikan depresi ekonomi, misalnya saja pengangguran bisa ditekan
sampai tingkat 4,5 juta orang (dari 13 juta orang). Namun, pada bulan
Maret 1938 pengangguran melonjak kembali menjadi 11 juta orang dan 10
juta orang menjelang Perang Dunia II.
Cara-cara
Keynes hanya akan mendorong suatu inflasi harga barang-barang dan
jasa-jasa saja bila para investor yang menguasai bisnis (oligarki finasial)
tidak bisa memperluas pasar bagi peningkatan produksinya. Selama
Depresi Besar tersebut tak ada perluasan pasar seperti yang mereka
harapkan itu, itulah mengapa keampuhan kebijakan Keynesian sangat
terbatas.
Hanya
perang atau persiapan perang yang dapat memperluas pasar: pembelian
barang-barang kebutuhan perang oleh pemerintah. Terdorong oleh perang
dan peningkatan persenjataan, seluruh cabang produksi mengalami revolusi
teknologi — terutama penemuan-penemuan peralatan-peralatan teknologi
yang mempercepat otomatisasi proses produksi. Revolusi teknologi inilah
yang menyebabkan berlipatgandanya profit karena bisa menghemat ongkos
produksi barang-barang. Penghematan ini, memungkinkan penjualan barang
menjadi lebih murah, dengan konsumen yang lebih besar. Dengan perang,
sektor-sektor produksi yang tidak penting dan membuang biaya besar telah
dihancurkan.
Paska
perang dunia, pada tahun-tahun 1950-an-1970-an dunia mengalami masa
pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, hanya terjadi resesi kecil pada
tahun 1960-an. Periode ini sering dijuluki banyak kalangan dengan “jaman
keemasan”.
Apa
daya, “Jaman keemasan” telah berakhir, dunia kembali tersungkur dalam
resesi. Krisis kelebihan produksi secara periodik terjadi kembali.
Diawali pada tahun 1973-1975 dengan indikasi stagnasi panjang dan
pertumbuhan ekonomi yang lambat. Ukuran stagnasi panjang tersebut adalah
lambatnya perkembangan produktivitas kerja. Pertumbuhan produktivitas
kerja AS, misalnya, selama 25 tahun belakangan adalah rata-rata 1 % per
tahun, padahal 25 tahun sebelumnya rata-rata 2 %. Indikasi lain bahwa
resesi makin dalam adalah statistik ekonomi dunia. Antara 1970-1990
rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 %. Selama dasawarsa 70-an
ada 8 tahun pertumbuhan di atas rata-rata tersebut dan 2 tahun di bawah
rata-rata, selama dasawarsa 80-an ada 5 tahun di atas rata-rata, 4 tahun
di bawah rata-rata.
Pada dasawarsa 1990-an AS, yang telah menjadi negeri imperialis besar, meraih keuntungan besar (boom)
karena ekspor dan penurunan upah riil buruh. AS mengalami peningkatan
pertumbuhan ekonomi domestik pada tahun 1997 karena ekspornya. Namun,
pertumbuhan tersebut terjadi di tengah-tengah ekonomi dunia yang sedang
mengalami resesi. Dalam perkembangannya, ekspor AS menurun karena
resesi, justru imporlah yang naik karena perubahan nilai pertukaran mata
uang. Sumber dari boom
yang selama 8 tahun tersebut bukan hanya karena penurunan tingkat upah —
yang berarti kaum buruh kalah — dan kompetisi pasar internasional,
tetapi juga karena ledakan spekulasi di bursa saham AS. Tapi, pada bulan Agustus 1998 bursa saham AS jatuh (Allen Mayer, 1999).
Serupa dengan AS, Jepang pernah mengalami booming
hingga tahun 1995 karena ekspor Jepang meningkat, namun pada tahun 1998
terjadi stagnasi, ditunjukkan dengan angka penggangguran di Jepang
(negeri yang dikenal tidak ada pengangguran) yang meningkat hingga 4,1
%. Selain itu, beberapa industri dan bank juga tengah mengalami
kebangkrutan, sehingga pemerintah Jepang mengeluarkan Paket Kebijakan
Penyelamatan (Allen Mayer, 1999). Sementara, di Eropa stagnasi mulai
terjadi pada tahun 1997-1999. Salah satu penyebabnya adalah boom AS.
Negeri-negeri Asia selain Jepang jauh lebih parah. Tujuh chaebol (pengusaha besar) bangkrut
di Korea Selatan, Thailand mengalami kejatuhan mata uang, sedangkan
Indonesia tak pelak menjadi negeri yang paling buruk tertimpa krisis.
Di
Amerika Latin, krisis terjadi antara tahun 1981-1985 yang ditandai
dalam penurunan pendapatan perkapita nasional, jatuhnya perdagangan,
jatuhnya aliran masuk modal pinjaman dan investasi, dan ketidakmampuan
membayar utang luar negeri serta krisis mata uang.
Di
Meksiko, salah satu negeri di Amerika Latin, tak luput dari hempasan
krisis. GDP yang pada dekade tahun 1970-1979 rata-rata 6,4 %, menurun
menjadi 1,35 % antara tahun 1980-1989. Utang luar negeri dari 530 juta
peso di tahun 1970 naik menjadi 700.000 juta peso di tahun 1995. Tahun
1982 Bank of Meksiko bangrut, Meksiko tak mampu membayar utang nasional.
Jatuhnya harga minyak mempercepat pula ambruknya sistem keuangan
Meksiko.
Dalam kondisi krisis over produksi,
modal mengalami kejenuhan, tidak produktif dan mengalami kelebihan
kapasitas. Modal tidak dapat lagi diinvestasikan dalam produksi, karena
ia akan mati. Modal harus “dibuang”, inilah awalnya. Mari kita rampok
lagi dunia ketiga, begitu kira-kira.
Pada
pertengahan tahun 1980-an, dengan dipimpin oleh IMF dan World Bank,
diperkenalkan sebuah kebijakan baru dalam pembangunan ekonomi, yang
disebut dengan New Ortodoxy. Kebijakan inilah, yang kemudian disebut sebagai neoliberalisme.
Kata
“neoliberalisme”, sebenarnya, merujuk pada prinsip-prinsip gagasan
liberal klasik yang dicetuskan oleh Adam Smith. Sistem doktrinnya
dikenal dengan “Washington Consensus” yang diprakarsai oleh
perusahaan-perusahaan multi-nasional. Bedanya dengan liberalisme lama,
dalam neoliberalisme ini yang mengalami internasionalisasi adalah
kekuatan pengendali modal.
Pada
intinya, neoliberalisme yang merupakan jawaban dari krisis ekonomi
memiliki pengertian pokok sebagai berikut: swastanisasi terhadap
perusahaan-perusahaan negara, liberalisasi arus perdagangan dan modal,
deregulasi sektor-sektor swasta, penghapusan subsidi, peniadaan
kontrol harga, pemotongan atas program-program sosial dan sebagainya.
Kebijakan neoliberal termanifestasi dalam berbagai bentuk program, seperti SAP (Structural Adjustment Program), dan dalam kasus Indonesia, Letter of Inten (LoI).
Benarkah
–seperti dikatakan para ekonom dan politisi borjuis– bahwa
neoliberalisme menghilangkan campur tangan negara terhadap pasar? Sama
sekali tidak. Negara merupakan alat bagi kepentingan kapitalisme. Makna
menghilangkan campur tangan negara adalah bahwa negara-negara berkembang
(dunia ketiga) diperlemah: tidak adanya peraturan-peraturan yang akan
mengganggu arus perdagangan dan modal di dunia ketiga bagi keuntungan
imperialis — karena modal harus segera “dibuang”. Di sisi lain,
imperialis tetap memakai kekuasaan bersenjatanya untuk memaksakan
kebijakan-kebijakan mereka terhadap dunia ketiga, seperti Perang Teluk
yang telah berlangsung sekian lama, Krisis Balkan, dan campur tangan AS
terhadap negara-negara di Amerika Latin. Bahkan di dunia pertama, di
Inggris tepatnya, pada era paska pemerintahan Tatcher pajak yang diambil
pemerintah meningkat dibandingkan dengan era Tatcher.
Menghilangkan
proteksionisme berarti proteksi sini, tidak untuk sana. Faktanya, di
negara dunia ketiga tidak boleh menjalankan kebijakan proteksionisme
terhadap industri lokalnya. Sementara, negara-negara maju
menjalankannya. Sebagai contoh, NAFTA, didirikan sebagai proteksi
terhadap kecenderungan demokratisasi di Meksiko dan para kompetitor dari
Eropa dan Asia Timur.
Pemangkasan
subsidi artinya dihilangkannya subsidi-subsidi untuk publik yang
dianggap tidak efisien dan dialihkan untuk subsidi terhadap para
kapitalisme besar.
Demikian
halnya dengan “perdagangan bebas”, yang maknanya bebas untuk kami,
tidak bebas untuk kalian. “Kompetisi Bebas”, justru sebaliknya. Salah
satu jawaban dari krisis over produksi
adalah dengan meningkatkan monopolisasi, dengan menghapuskan
kompetitor-kompetitor di dunia ketiga dan juga lewat pengambilalihan dan
penggabungan modal.
Liberalisasi
perdagangan dan arus modal, artinya, pengurangan bea tarif impor, untuk
mempermudah arus komoditi dan modal dari dunia pertama ke dunia ketiga.
Krisis
ekonomi, menurut imperialis, tidak dapat lagi diatasi hanya dengan
eksploitasi dunia ketiga semata. Modal harus terus ditanamkan di dunia
ketiga, pasar di dunia ketiga harus terus dibuka dan dihilangkan seluruh
hambatan-hambatannya. Upaya jahat tersebut, sekali lagi, dipermudah
melalui program-program neoliberalisme.
Lantas,
mengalirlah modal besar-besaran dari dunia pertama ke dunia ketiga,
dipelopori di Amerika Latin. Keyness sudah usang. Yang dibutuhkan oleh
imperialisme bukan keadaan full employment, akan tetapi angka pengangguran, agar nilai posisi tawar buruh tetap terjaga rendah.
Kegagalan Neoliberalisme
Kebijakan
neoliberal yang coba diterapkan sejak awal tahun 1980-an di Amerika
Latin, sebagai upaya untuk mengatasi krisis, ternyata gagal. Memang, ada
peningkatan ekonomi di negara-negara kapitalis maju pada periode tahun
1980-1982, dan nampaknya resep neoliberal sudah jalan. Namun, pada
periode 1990-1993, pengangguran meningkat tajam, mencapai angka resmi 8 %
di negara-negara tersebut (Lorimer, 1998). Berikut adalah
negeri-negeri di Amerika Latin yang terkena dampak terparah dari
kebijakan neoliberal:
Meksiko
Sejak
awal tahun 1980-an, demi mengatasi krisis ekonomi, pemerintah Meksiko
menjalankan kebijakan neoliberal yang didesakkan oleh IMF dan Bank
Dunia, diantaranya adalah program-program pengurangan pengeluaran publik
(termasuk sosial), penghapusan subsidi, pembatasan kredit,
swastanisasi perusahaan-perusahaan negara, liberalisasi perdagangan, dan
liberalisasi harga. Kebijakan tersebut ternyata membawa dampak yang
sangat berat bagi rakyat Meksiko. Bukannya menyelesaikan krisis ekonomi,
sebaliknya justru memerosokan rakyat Meksiko ke jurang kemiskinan.
Kemiskinan, tingginya angka kematian selalu menghantui rakyat Meksiko,
baik petani kecil yang tinggal di pedesaan maupun mereka yang tinggal
di kota, kaum miskin kota.
Pada
umumnya, kebijakan neoliberal mendorong pemotongan subsidi di
sektor-sektor “non-produktif”, termasuk di dalamnya adalah pengurangan
subsidi di sektor kesehatan. Demikian halnya program pengurangan subsidi
di sektor pendidikan dipaksakan di Meksiko. Selama dekade 1980-an,
akibat pengurangan yang terus menerus, subsidi dana kesehatan berkurang
dari 4,7 % menjadi 2,7 %. Akibatnya jasa pelayanan kesehatan menjadi
mahal. Hal yang mengerikan terjadi adalah pada tahun 1980 hingga 1992
angka kematian di Meksiko meningkat hampir 3 kali lipat, bahkan
mencapai 30.000 orang pertahun pada 1995. Hingga bulan September 1995,
tercatat 80 anak usia di bawah satu tahun meninggal setiap harinya
akibat kekurangan gizi.
Dapat
dibayangkan, pada tahun berikutnya, Meksiko akan mengalami krisis
generasi. Memang, pemerintah merencanakan akan menaikkan subsidi di
sektor kesehatan hingga tahun 2000. Toh, kenaikan ini tampaknya tak
cukup mampu mengembalikan keadaan.
Sektor
pendidikan pun mengalami pemotongan subsidi serupa. Mahalnya biaya
pendidikan membuat jumlah anak yang bersekolah hingga ke jenjang
pendidikan lanjut menyusut.Antara tahun 1982 hingga 1990, dana untuk
pendidikan merosot 5,5 % dari GDP ke 2,5 %. Harga buku-buku pun
merangkak naik dan tak terjangkau lagi oleh keluarga miskin. Terpaksa ,
anak-anak pun harus bekerja untuk membantu kesulitan ekonomi
keluarganya. Wilayah San Miguel tercatat sebagai wilayah terparah untuk
kasus ini.
Liberalisasi
perdagangan pun memukul telak sektor pertanian. Untuk menarik
penanaman modal asing presiden Salinas sejak pertengahan tahun 1980-an
mengeluarkan sebuah kebijakan di sektor pertanian, yang membuat para
petani terpaksa menjual atau menyewakan tanahnya. Negosiasi dengan NAFTA
tentang reformasi ekonomi menyepakati penurunan tarif impor maksimum
dari 100 % menjadi 20 %. Padahal selama ini, tarif impor telah
melindungi petani Meksiko dari limpahan komoditi impor, terutama dari
Kanada dan AS yang jauh lebih murah. Akibatnya, produk-produk pertanian
asing yang murah dan kualitasnya lebih baik, membanjiri pasar-pasar
Meksiko. Inilah awal dari malapetaka yang berkepanjangan di wilayah
Chiapas, Selatan Meksiko yang paling parah kondisinya. Selama beberapa
tahun, jutaan petani kecil dan buruh tani telah kehilangan tanah dan
pekerjaannya, sehingga terjadilah arus urbanisasi besar-besaran.
Selain, banyak juga yang nekat meninggalkan Meksiko menuju perbatasan
mencari penghidupan sebagai imigran gelap.
Industri
kecil dan menengah domestik di kota tak luput dari kehancuran
lantaran kalah bersaing dengan AS dan Kanada. Termasuk juga kaum
buruhnya. Setiap hari, sejak tahun 1995, tercatat hampir 8.000 buruh
kehilangan pekerjaan.
Sejak
swastanisasi dijalankan oleh pemerintah Miguel de la Ma Dewan Rakyat id
pada awal tahun 1980-an, kemudian diteruskan oleh pemerintahan Salinas
dan Zedillo, jumlah perusahaan negara telah berkurang dari 1.155 di
tahun 1987 menjadi 232 pada tahun 1992. Sebagian besar diantaranya
dibeli oleh modal asing. Sebelumnya pemerintah memberikan
tawaran-tawaran yang menggiurkan di antaranya adalah upah buruh yang
murah. Antara tahun 1982 – 1988 upah riil buruh menurun 53 %, tahun
1988-1994 sebesar 28 %, dan 13 % pada tahun 1995. Di luar itu adalah
dilakukannya pemecatan-pemecatan dengan alasan politik, yakni bahwa
buruh-buruh menentang program swastanisasi. Sedikitnya 500.000 lapangan
pekerjaan telah hilang (padahal setiap tahunnya Meksiko membutuhkan 1
juta lapangan pekerjaan untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduknya).
Inilah cara-cara untuk mempertahankan rendahnya kekuatan tawar
buruh.
Mata
uang peso pun ambruk pada pertengahan tahun 1990an. Angka kemiskinan
meroket tajam. Selama hampir 15 tahun rata-rata hampir 700.000 orang
jatuh miskin setiap tahunnya. Pada tahun 1990 jumlah penduduk miskin di
Meksiko sebesar 42 juta, sementara jumlah penduduk yang sangat miskin
mencapai 18 juta.
Agaknya,
sulit bagi rakyat Meksiko beranjak dari kemiskinan. Di satu sisi
kebijakan-kebijakan pemerintahnya telah membawa akibat kemundurun
ekonomi; di sisi lain Meksiko harus menanggung utang luar negeri yang
berat. Padahal utang luar negeri hanya dapat dibayarkan melalui ekspor,
yang justru telah menurun sejak 1997 akibat tak cukup dana.
Nikaragua
Tahun
1990-an merupakan masa transisi bagi Nikaragua. Dengan berakhirnya
perang kontra dan blokade ekonomi AS, pemerintahan Violeta Chamoro
telah berdiri dengan tujuan-tujuan yang berbeda dari sebelumnya,
Sandinista. Pemerintahan baru ini secara aktif mengajukan program
rekonsiliasi politik dan reformasi ekonomi. Ia juga memajukan kebijakan
ekonomi pasar bebas, yang merupakan paket dari IMF dan Bank Dunia.
Kebijakan tersebut telah membawa Nikaragua jatuh pada kemiskinannya.
Krisis
diawali pada 1990an.Pemerintahan Sandinista telah berupaya membangun
sebuah ekonomi campuran, negara dan swasta, termasuk produksi kecil
sembari meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Ada beberapa hasil,
seperti perbaikan ekonomi, tetapi timbul juga masalah-masalah
signifikan. Tahun 1987, dengan jatuhnya harga kopi internasional dan
meningkatnya biaya militer berkaitan dengan perang. Sandinista terpaksa
memperkenalkan serangkaian tindakan stabilisasi untuk mengurangi
tingginya inflasi dan merestorasi keseimbangan.
Program
tersebut, termasuk pemotongan pengeluaran pemerintah di bidang
pelayanan sosial. Program penyesuaian lebih massif dilakukan oleh
pemerintahan Chamoro. Pada tahun 1990 Nikaragua memperluas program
neoliberal dengan swastanisasi. Sama halnya dengan Meksiko, program
liberalisasi sektor finansial dan pengurangan subsidi sektor publik
diperkenalkan. Namun kebijakan tersebut harus dibayar mahal. GDP
perkapita dalam tahun 1993 jatuh 73 % dari rata-rata tahun 1985-1989,
sementara investasi mengalami penurunan sebesar 63 %. Tahun 1994, GDP
menurun lagi sebesar 3,2 %. Rakyat Nikaragua juga terancam kekurangan
gizi dan angka keamtian cukup tinggi. Hampir 300.000 buruh yang
bekerja di sektor publik kehilangan pekerjaan sejak tahun 1990.
Para
petani kecil dan menengah juga harus terjungkir oleh kebijakan
pemotongan subsidi pertanian sebesar 63%. Produksi industri berkurang
jika dibandingkan dengan selama tahun 1985-1989. Defisit perdagangan
meningkat dari 304 juta US dollar di tahun 1989 menjadi 433 US dollar di
tahun 1994, karena naiknya nilai impor naik akibat liberalisasi
perdagangan.
Perempuan
juga korban terbesar dari swastanisasi perusahaan, karena lebih dari
70 % pekerjaan yang disediakan pemerintah mempekerjakan perempuan.
Industri tekstil dan garmen yang memiliki modal kecil kalah dan
digantikan dengan pabrik-pabrik yang beroperasi dalam kerangka pasar.
Perempuan yang kehilangan pekerjaan terpaksa mencari pekerjaan di
sektor-sektor informal. Sebesar 75 % pendapatan perempuan menurun jika
dibandingkan dengan laki-laki yang turun sebesar 65 %.
Penurunan
juga terjadi pada upah buruh, pada tahun 1993 tercatat upah riil
buruh hanya 59 % dari upah mereka di tahun 1980. Pada tahun 1991, upah
riil buruh dapat memenuhi 92 % dari kebutuhan, namun di tahun 1993 hanya
memenuhi 67 % dari kebutuhan. Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa,
75 % rakyat Nikaragua hidup dalam kemiskinan.
Chili
Chili
adalah negeri pertama yang menjalankan program neoliberalisme dengan
paket swastanisasi yang massif dan meluas. Kebijakan neoliberlisme
dicoba diterapkan di Chili pada pertengahan tahun 1970-an.
Perusahaan-perusahaan
yang dimiliki secara kolektif oleh rakyat telah ada sebelum tahun
1970, tepatnya ketika Chili dipimpin oleh presiden Sosialis, Salvador
Alllende dan telah memainkan peran penting dalam pembangunan
infrastruktur dan penyediaan kredit dan perlindungan tarif demi
pembangunan industri lokal dan kesejahteraan rakyat.
Program
swastanisasi terhadap perusahaan-perusahaan publik tersebut mulai
dilakukan setelah jatuhnya pemerintahan Allende oleh kudeta militer
Pinochet pada tahun 1973. Agenda swastanisasi dijalankan melalui dua
gelombang. Gelombang pertama antara tahun 1975 hingga 1982 dengan
dengan penjualan bank-bank yang sebelumnya menjadi milik rakyat. Dalam
banyak kasus bank-bank tersebut dibeli oleh segelintir keluarga kaya
yang telah mendominasi keuangan dan industri Chili selama setengah abad
sebelumnya. Gelombang kedua antara tahun 1985 hingga Pinochet
menyerahkan kekuasaan di tahun 1990..
Dengan
jatuhnya keuangan dan resesi di tahun 1981, ideologi pasar bebas
mendominasi di Chili, mendorong swastanisasi dijalankan. Rakyat telah
banyak kehilangan bank-bank yang selama ini berperan dalam penyediaan
kredit. Sejalan dengan desakan IMF dan Bank Dunia, pemerintah mengambil
alih bank-bank yang telah jatuh akibat krisis. Dari 19 bank yang telah
dijual kepada pihak swasta pada tahun 1970-an, hanya 5 bank yang kembali
ke tangan pemerintah. Pada tahun 1985 kembali pemerintah menjual kepada
pihak swasta.
Gelombang
kedua swastanisasi dimulai pada akhir tahun 1985, ketika pemerintah
memperkenalkan program swastanisasi terhadap seluruh sisa
perusahaan-perusahaan publik, yang masih termasuk enam dari sepuluh
perusahaan terbesar di Chili.
Konsekuensi
dari swastanisasi adalah upah buruh murah dan pengekangan terhadap
hak-hak kaum buruh. Pada tahun 1980 undang-undang perburuhan dihapuskan,
para pemimpin serikat buruh buruh yang menentang swastanisasi
mengalami intimidasi dan beberapa kasus mereka disogok. Pada awal
swastanisasi gelombang kedua, para pemimpin serikat buruh berupaya
kembali mengorganisir perlawanan, namun gerakan tersebut dilibas dengan
keras oleh pemerintah pada pertengahan tahun 1980-an.
Pada
tahun 1988 pendapatan per kapita dan upah riil buruh tidak jauh berbeda
dari tahun 1973, dengan angka pengangguran rata-rata 15 % antara
tahun 1975 dan 1985 (dengan puncaknya mencapai 30 % pada tahun 1983).
Antara tahun 1970 dan 1987 angka kemiskinan meningkat dari 17 % menjadi
38 %. Antara tahun 1979 dan 1988 bagian terkaya dari penduduk Chili
dapat meningkatkan pendapatannya dari 36 % menjadi 46,8 % dari
pendapatan nasional. Sedangkan bagian termiskin turun dari 20 % menjadi
16,8 % (Atilio A. Baron: 1999).
Tak beda dengan kasus di negara lain, angka kemiskinan pun cenderung naik dari tahun.
Umumnya,
problem yang dihadapi oleh rakyat Amerika Latin adalah kemiskinan.
Neoliberalisme tidak memperbaiki nasip mereka, justru makin
menyengsarakan rakyat. Hanya para oligarki finansial internasional
yang mengais keuntungan, karena perdagangannya terus mengalami
surplus, selain itu mereka dapat mengambil alih perusahaan-perusahaan
penting di dunia ketiga (dalam kasus Chili dan Nikaragua
perusahaan-perusahaan tersebut sebelumnya dimiliki oleh rakyat secara
kolektif, kini dijual kepada perusahaan multi-nasional). Demikian
halnya dengan program deregulasi, kini perusahaan-perusahaan
multi-nasional yang beroperasi di dunia ketiga, tak lagi menghadapi
hambatan undang-undang dan peraturan negara.
Neoliberalisme
adalah program yang dipaksakan oleh perusahaan-perusahaan
multi-nasional, demi menjamin aliran modal dan perdagangan lancar. Jika
tidak lancar, krisis ekonomi periodik akan menghantam mereka.
Perlawanan Terhadap Neoliberalisme
Sesungguhnya,
perlawanan menentang neoliberalisme di berbagai belahan negeri cukup
banyak memberi contoh. Di Amerika Latin elemen-elemen penting kaum
buruh masih tetap dalam oposisi terhadap kebijakan neoliberal. Di
Brazil, oposisi dan perlawanan gerakan buruh membawa kepada pembentukan
partai buruh (PT). Pada bulan April 1994, pada pemilihan umum di
Argentina, gerakan buruh yang mendukung penuh united left
(aliansi kiri) menjadi kekuatan dominan di Buenes Aires, yang mengancam
kebijakan pasar bebas. Di Chili sejak tahun 1990, setelah mengalami
demoralisasi tahun 1983-1986, organisasi-organisasi dan
kelompok-kelompok rakyat mulai memobilisasi perlawanan. Misalnya, pada
tanggal 14 Juli 1999, lebih dari 6.000 buruh pelabuhan dan para
keluarganya berdemonstrasi di Valparaiso, memprotes melimpahnya
pengangguran dan menentang rencana pemerintah menjual
fasilitas-fasilitas milik negara. Demonstrasi berlangsung selama 24 jam,
dengan didukung oleh para supir truk, dosen dan mahasiswa. Terhadap
demonstrasi tersebut, presiden Chili Eduardo Frei dengan arogan
menyatakan “pemerintah tetap pada pendiriannya”
Rakyat
Nikaragua pun tidak pernah pasif menghadapi neoliberalisme. Sejak
tahun 1990-an, pada awal-awal kebijakan tersebut dijalankan, serangkaian
pemogokan dan demonstrasi buruh terjadi. Paling dramatis terjadi pada
bulan Agustus 1994, ketika seluruh kaum buruh di sektor transportasi
protes atas naiknya harga minyak. Selama 8 hari mereka mengambil alih
distribusi minyak.
Sandinista,
yang sebelumnya memerintah Nikaragua, pun aktif melakukan perlawanan.
Pada tahun 1992, banyak eks gerilyawan yang bergabung kembali, dan
mereka melakukan serangan militer dengan tuntutan perubahan politik
dan ekonomi pada 1994.
Sejak
tahun 1989 hingga 1999 federasi-federasi besar serikat-serikat buruh di
Brazil, Bolivia dan Ekuador telah memobilisasi pemogokan-pemogokan
nasional menentang kebijakan neoliberal, berkoordinasi dengan
protes-protes jalanan, rally dan mobilisasi besar penduduk asli. Di
Brazil, pada Februari 1998 sejumlah 4.000 buruh mogok menentang
rencana parlemen untuk memotong anggaran di bidang keamanan dan
pelayanan sosial. Bentrokan antara buruh dan aparat pun terjadi. Pada
hari yang sama, sekitar 10.000 buruh di Sao Paulo turun ke jalan
dengan tuntutan yang sama. Sementara pada bulan Agustus 1999, puluhan
ribu supir truk melakukan mogok nasional, menentang kenaikan harga
minyak. Perlawanan-perlawanan tersebut telah membuat pemerintah terdesak
dan menawarkan berbagai konsesi.
Pada
1994, para petani Indian Maya, penduduk asli Meksiko, dengan dipimpin
oleh Zapatista (sebuah organisasi perjuangan gerilya revolusioner)
melakukan pemberontakan dan mengambil alih Chiapas, sebuah negara
bagian di bagian Selatan Meksiko di dekat perbatasan dengan
Guatemala, dan dikenal sebagai daerah termiskin sekaligus terbanyak
penduduk aslinya. Revolusi Meksiko tahun 1910-1917, yang membawa
reformasi sosial dan pertanian, meluas ke Chiapas; yang tetap dalam
kontrol sekelompok kecil elit oligarki tuan tanah dan mesin politik
partai penguasa, PRI. Pada tahun 1970 terjadi perubahan cepat di
Chiapas. Pertama, ada perkembangan yang Dewan Rakyat amatis dan
eksploitasi minyak, yang membawa akumulai modal secara masif.
Perkembangan lainnya, adalah dijalankannya reformasi agraria untuk
kebutuhan pembangunan dam, perkebunan dan industri. Eksploitasi minyak
tersebut menyebabkan sengsara petani.
Sekitar
tahun 1983-1984, sekelompok kecil kaum kiri revolusioner datang ke
Chiapas dan mendorong perjuangan gerilya. Mereka kemudian membangun
jaringan dengan para petani. Kemenangan partai penguasa atas pemilihan
Presiden makin memperluas kebijakan neoliberal di Meksiko.
Peristiwa-persitiwa
tersebut mendorong EZLN (Zapatista), membangun basis perjuangan gerilya
yang luas. Pada 1 Januari -bertepatan dengan menguatnya NAFTA —
Zapatista mulai melakukan pemberontakan di Chiapas. Dua belas hari
pertempuran, dan pemerintah pun terdesak. Kemudian EZLN mengambil alih
daerah-daerah penting di Chiapas, dan mulai mengadakan perundingan
damai dengan pemerintah. Terpaksa, pemerintah Meksiko harus menyepakati
konsesi di seputar demokratisasi — apa yang disebut oleh Zapatista
sebagai “perdamaian dengan martabat dan keadilan”. Kegagalan fatal
kaum kiri di Meksiko adalah ketika mereka mengalami kekalahan pada
pemilihan Presiden tahun 1994.
Meksiko
kembali mengalami kejatuhan finansial dan depresi ekonomi pada
1995.Akibatnya pemerintah harus kembali memperluas program neoliberal.
Pada bulan Februari 1995, secara tiba-tiba pemerintah melancarkan
serangan militer terhadap EZLN. Dimulailah perang di Chiapas. Kekerasan
militer terhadap rakyat, kekerasan para-militer, pasukan pembunuh dan
penghancuran tanaman pertanian terjadi. Sementara negosiasi antara
pemerintah Meksiko dengan EZLN terus berlangsung, dan pada bulan Januari
1996, sebuah persetujuan dengan hak-hak penduduk asli ditandatangani.
Namun, kembali pemerintah Meksiko tidak pernah mematuhinya. Justru,
perang makin merajalela di Chiapas. Pada akhir tahun EZLN memutuskan
untuk memperluas perang melawan pemerintah Meksiko.
Zapatista
merupakan sebuah gerakan revolusioner yang berbasiskan penduduk asli
dan petani. Gerakan mereka dibangun dengan sebuah institusi militer
yakni EZLN, dan institusi komunitas petani (dan juga komunitas kota)
yang secara aktif mendukung dan menentukan kebijakan umum gerakan.
Sementara peran institusi militernya tunduk pada wewenang komunitas.
Perjuangan
Zapatista akan reformasi sosial, ekonomi dan agraria, mendorong
pengambilalihan tanah-tanah oleh para petani, dan memenangkan hak
penduduk asli terhadap demokrasi dan otonomi. Dengan kemenangan
pemerontakan pada 1994, perjuangan mereka kini telah berubah dari bawah
tanah menjadi secara terbuka menentang neoliberalisme. Tuntutan
akan hak demokrasi dan otonomi misalnya, adalah bagaimana penduduk
asli dan para petani dapat mengelola sendiri ekonomi dan politik
daerah-daerah yang dikuasai. Tanah-tanah dan industri kini menjadi milik
kolektif penduduk setempat, mereka berproduksi dan mendistribusikannya
secara kolektif. Sementara, di bidang politik, mereka dapat memilih
wakil-wakil di legislatif secara langsung. Bahkan memilih walikota
sekali pun.
Tidak
hanya Zapatista kaum buruh di kota-kota pun dengan aktif melakukan
perlawanan. Seperti buruh pertambangan Canena pada 1985, yang menentang
swastanisasi, yang menyebabkan banyak pemecatan. Dukungan pun
meluas, dari kelompok perempuan, gereja, dan serikat-serikat buruh
lainnya.
Gerakan
terdsebut tidak hanya dilakukan secra spontan tetapi juga
terorganisir dan berkesinambungan. Setiap tahunnya kaum buruh di
Meksiko memperingati hari buruh sedunia (May Day) pada tanggal 1 Mei
dengan menggalang rally dan demonstrasi. Pada 1 Mei 1998, sejumlah
100.000 kaum buruh terlibat dalam demonstrasi yang dipimpin oleh UNT
(National Workers Union), sebuah Serikat Buruh independen, yang
mengajukan tuntutan perubahan kebijakan ekonomi, kenaikan upah,
penghapusan praktek-praktek serikat buruh koorporatis, demokratisasi dan
otonomi serikat buruh. Tidak hanya tuntutan buruh tetapi juga
penolakan terhadap program swastanisasi.
Berulang
tepat setahun berikutnyam, sekitar 100 organisasi buruh menggelar
demonstrasi besar yang melibatkan sekitar 250.000 buruh. Mereka
menentang reformasi perburuhan yang dijalankan pemerintahan Meksiko,
dan menentang swastanisasi perusahaan listrik. Demonstrasi tersebut
berlangsung beberapa hari dengan dihadiri oleh beberapa perwakilan
Zapatista, dan didukung oleh puluhan ribu mahasiswa.
Lebih
maju lagi, sebuah organisasi politik didirikan oleh UNT, Gerakan Sosial
Buruh, dan saat ini tengah mengadakan kampanye di seluruh wilayah
dengan agenda terbentuknya “sebuah partai buruh”.
Sementara,
sebuah aliansi yang melibatkan banyak kelompok gerakan kiri di Meksiko
mengambil bagian perjuangan menentang neoliberalisme, dengan
tuntutan-tuntutan yang lebih politis.Mereka mengadakan sebuah rally
yang melibatkan hampir 100.000 massa. Dinamakan Intercindical,
mereka terdiri dari beberapa serikat buruh kiri, buruh-buruh yang
telah dipecat, kaum buruh perkebunan, para pekerja pemerintahan federal
dan Zapatista.
Tuntutan
politik yang diajukan adalah penolakan terhadap utang Meksiko,
pembebasan seluruh tahanan politik, dan menentang kebijakan pemerintah
di Chiapas. Kedua kelompok gerakan radikal ini mencoba membuka dialog
diantara mereka, karena ada berbagai kesamaan tuntutan.
Semua sektor rakyat di Meksiko memberikan perlawanan keras terhadap neoliberalisme. Beberapa hari sebelum May Day,
tepatnya tanggal 30 April 1999, mahasiswa dari National Autonomous
University of Mexico (UNAM) menggelar pemogokan umum yang melibatkan
lebih dari 250.000 massa mahasiswa. Pemogokan berlanjut hingga tanggal 5
Mei yang meluas ke universitas-universitas di seluruh negeri (18 negara
bagian). Perlawanan mahasiswa tersebut dipicu oleh kebijakan pemerintah
Meksiko yang menaikkan biaya kuliah dan swastanisasi pendidikan.
Setelah
10 jam sidang, sebuah badan koordinasi telah menyetujui beberapa daftar
tuntutan kepada pemerintah. Tuntutan tersebut termasuk, 8 % GDP untuk
pendidikan, dengan 2,5 % untuk pendidikan yang lebih tinggi, penghapusan
ikatan dengan National Center of Evaluation, demokratisasi kampus.
Demonstrasi
berlangsung setiap hari, dan dukungan pun mengalir termasuk dari
kaum buruhnya. Misalnya Serikat Buruh Listrik telah mencetak 100.000
selebaran atas nama gerakan UNAM untuk didistribusikan selama May Day.
Sementara Serikat Buruh Universitas UNAM sendiri telah memberikan
sumbangan sebesar 20 peso dari setiap buruhnya, totalnya 50.000 peso.
Pada tanggal 7 Mei, ribuan anggota organisasi kaum miskin kota, Francisco Villa Popular Front dan Urban Movement
melakukan rally melewati bagian Selatan Mexico City menuju UNSM untuk
mendukung pemogokan umum mahasiswa. Mereka meneriakkan yel-yel seperti
“pendidikan sekarang untuk anak-anak buruh, pendidikan nanti untuk
anak-anak borjuis.”
NEOLIBERALISME DI INDONESIA
Krisis Ekonomi
Apa yang terjadi pada akhir tahun 1997 sungguhlah mencengangkan,
banyak negeri di Asia tiba-tiba saja diguncang badai krisis.
Pertumbuhan 7-8 % per tahun, Asian Miracle
dan sebagainya yang selama puluhan tahun dipuji-puji oleh banyak
pejabat, IMF, dan ekonom-ekonom liberal lenyap dalam sekejap. Di
Indonesia, nilai rupiah merosot drastis sebesar 85 % (antara Juli dan
Februari 1998, bahkan pernah nilai rupiah menyentuh angka Rp. 16.000 per
1 US dollar). Industri, terutama yang berbahan baku impor dan modalnya
diperoleh dari hutang luar negeri, gulung tikar. Puluhan juta buruh
kehilangan pekerjaan akibat PHK, harga-harga barang melambung lebih
dari 100 %, inflasi terjadi hingga 77,6 % dari satu tahun sebelumnya.
Krisis, yang oleh banyak ekonom borjuis disebut krisis moneter, telah
menyebabkan pendapatan per kapita merosot dari 1.200 US dollar menjadi
500 US dollar. Dampak sosial paling mencolok adalah jumlah penduduk
miskin yang berlipat menjadi hampir 80 juta orang. Ini adalah data
terakhir BPS.
Akibat terpaan krisis tersebut, tingkat kesejahteraan rakyat pun
merosot jatuh. Daya beli menurun, sementara harga-harga barang menukik
tajam, jauh tak terjangkau oleh mayoritas rakyat. Hilangnya satu
generasi lantaran tak sanggup mengkonsumsi gizi yang cukup serta
mahalnya harga obat-obatan, menjadi satu kekhawatiran baru.
Lantas,
bagaimana upaya pemerintah untuk keluar dari kemelut krisis maha
dahsyat ini ? Bagaimana strategi mereka dalam membebaskan rakyat dari
himpitan menyesakkan ini ? Pemerintahan Soeharto, Habibie, maupun
pemerintah baru Gus Dur-Mega mempunyai cara pandang, analisa dan
strategi yang sama dalam menyikapi hal tersebut. Pertama, bahwa krisis disebabkan oleh KKN dan konglomerasi yang lahir dari proses kroni-isme, kedua, krisis ini sangat lokal sifatnya.
Pandangan
serupa juga dimiliki oleh modal internasional, yang diwakili oleh
IMF. Ditambah lagi dengan pandangan rasialis IMF yang menyebut bahwa
krisis yang menimpa Indonesia (dan Asia pada umumnya) merupakan krisis
yang khas Asia, yaitu, cara orang Asia berbisnis yang sarat dengan
praktek KKN.
Krisis
ekonomi telah menyebabkan ambruknya bangunan sistem ekonomi
Indonesia. Sektor riil terseok-seok, perbankan nasional terpuruk
dahsyat, tekanan terus-menerus terhadap nilai rupiah, dan tingginya
beban hutang luar negeri membuat pemerintahan kesulitan dana untuk me-recovery perekonomian.
Sehingga, dengan alasan kebutuhan dana tersebut, pemerintah tunduk
sepenuh-penuhnya pada saran dan kebijakan IMF. Memang faktornya bukan
karena kebutuhan dana dari IMF belaka, lebih jauh lagi, persamaan
perspektif antara keduanya, bahwa penyelesaian krisis ekonomi tersebut
haruslah tetap berada dalam alur kapitalisme yang kali ini muncul
dengan wajah barunya, yaitu neoliberalisme.
Seolah-olah sebelum berlangsungnya krisis, yakni semasa Orde Baru
rakyat Indonesia tidak mengalami penindasan ekonomi. Atau, dengan kata
kata lain, guna menutupi eksploitasi nilai lebih dari sistem
kapitalisme, pemerintah dan IMF berusaha mencari kambing hitam penyebab
krisis, yaitu KKN dan praktek konglomerasi. Padahal sesungguhnya kedua
hal tersebut hanyalah faktor yang memperparah saja, dan bukan faktor
fundamental.
Kebijakan neoliberal, dimana salah satunya adalah skema SAP (Structural Adjusment Program) atau Program Penyesuaian Struktural yang didiktekan IMF melalui LoI (Letter of Intents) kepada pemerintah Indonesia. Skema SAP tersebut secara garis besar adalah:
1. Liberalisasi perdagangan
2. Privatisasi/swastanisasi BUMN
3. Penghapusan subsidi (BBM, listrik, pendidikan, kesehatan, telepon, dan lain- lain)
4. Restrukturisasi keuangan
Guna
memperjelas pemahaman tentang wujud dan praktek dari paket kebijakan
neoliberalisme berikut dengan dampak-dampak sosial yang
ditimbulkannya, mari kita bahas satu per satu :
Liberalisasi Perdagangan
Kebijakan
ini bertujuan membuka pasar Indonesia lebih luas lagi bagi
barang-barang dari luar negeri –menghapus proteksi bagi barang-barang
domestik–, dan membuka liberalisasi investasi. Pasar domestik harus
berdasar mekanisme pasar (kompetisi). Jadi, regulasi dan birokrasi yang
menghambat harus dihapuskan. Tidaklah mengherankan jika pada masa rezim
Habibie, demi mendapatkan kucuran dana dari IMF, dengan cepat
pemerintah melengkapi syarat-syarat yang diajukan IMF yaitu,
menghapus tarif bea masuk beras dan gula impor hingga 0 % dan komitmen
dalam jangka panjang penghapusan secara keseluruhan bea masuk produk
agroindustri. Tak peduli dengan dampak sosial yang ditimbulkannya,
yakni sengsaranya petani padi dan tebu karena harga beras dan gula
jatuh. Jutaan petani lantas menjerit, bahkan petani tebu harus merugi
2,1 juta per hektar (Kompas, 27 Desember 1999). Demikian pula petani
yang memproduksi beras. Akibatnya, banyak dari mereka tidak mampu
mengembalikan KUT. Jika keadaan ini terus berlangsung, dimana serbuan
beras dan gula impor merajai pasar domestik sampai pada tingkat over
produksi, petani akan segan bertanam padi dan tebu, tak ayal, dalam
jangka panjang sangat mungkin terjadi krisis pangan domestik di tengah
melimpahnya produksi pangan dunia.
Segera
saja, kebijakan ini disambut protes di mana-mana. Serikat petani tebu
di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta melakukan aksi menentang gula
impor (Kompas, 10 Desember 1999). Walaupun perlawanan ini kurang
berdaya pukul kuat , –karena tidak melibatkan massa petani dalam jumlah
besar serta kurang terorganisir– sehingga pemerintah hanya bergeming
sedikit saja, setidaknya membuktikan bahwa telah muncul babak
kesadaran massa rakyat untuk melawan kebijakan yang merugikannya.
Pemerintah baru, Gus Dur, hanya sedikit merevisi kebijakan tersebut,
dimana kemudian tarif bea masuk beras impor ditetapkan sebesar 30 % dan
bea masuk gula impor sebesar 25 % per 1 Januari 2000. Tetap saja,
perubahan kebijakan ini merugikan petani karena harga beras dan gula
impor lebih rendah, sementara kualitasnya lebih bagus dibandingkan
produk lokal.
Kenapa
IMF sangat memaksakan kebijakan liberalisasi perdagangan kepada rezim
Gus Dur? Jelas kepentingan modal internasional-lah yang mengais untung
dari kebijakan ini. Mereka membutuhkan pasar untuk produk-produk
industri pertaniannya, terutama Kanada dan AS, juga Uni Eropa. Bahkan,
Amerika Serikat sendiri mengenakan tarif bea masuk gula impor sebesar
200 %. Jadi liberalisasi pasar ini maknanya agar negara dunia ketiga
secepatnya meliberalkan pasarnya, sementara negara maju tetap mengenakan
proteksi (dengan tarif ataupun hambatan non tarif) terhadap pasarnya
sendiri.
Penghapusan
tarif impor beras dan gula, hanyalah sebagian kecil dari paket
kebijakan liberalisasi perdagangan yang direkomendasikan oleh IMF.
Pengurangan tarif produk kimia, besi/baja, impor kapal, produk kulit,
aluminium, dan semen adalah sektor-sektor perdagangan yang juga harus
diliberalkan. Jadi, produk domestik yang berkualitas rendah — karena
teknologi produksinya yang rendah– dipaksa bersaing dengan produk
negara-negara maju, yang produknya lebih murah dan berkualitas. Di sisi
lain, tak ada usaha pemerintah untuk membantu dan mendorong
pengembangan teknologi produksi (pertanian, farmasi, baja, dan
sebagainya) tersebut.
Di
bidang investasi, sebagai syarat pencairan hutang, IMF
merekomendasikan kepada pemerintah untuk: menghapus batasan kepemilikan
saham 49 % bagi investor asing -kecuali perbankan–, menghapuskan
larangan investasi pada sektor perkebunan, dan mencabut larangan
investasi asing dalam perdagangan eceran (supermarket, mall, waralaba,
dan sebagainya). Modal internasional pun akan leluasa mengeksploitasi
sumber daya alam, sumber daya manusia, dan menggusur pasar-pasar
rakyat. Bisa dibayangkan, dampak sosial muncul kemudian.
Swastanisasi BUMN
Pemerintahan
Gus Dur berusaha meyakinkan rakyat, bahwa untuk menutupi kekurangan
(defisit) anggaran APBN, tidak ada jalan lain, kecuali menjual BUMN-BUMN
untuk memperoleh devisa. Argumen yang diajukan untuk memperkuat adalah:
bahwa BUMN-BUMN tersebut selama ini menjadi sarang korupsi, dan
pengelolaan oleh swasta akan lebih menguntungkan negara. Maka yang
terjadi kemudian adalah puluhan BUMN dijual, atau sedang dalam proses
penjualan. Antara lain: PT Pupuk Kaltim, PTP Nusantara IV, PTP
Nusantara IV, PTP VI, PT Tambang batubara Bukit Asam, PT. Indofarma, PT.
Kimia Farma, PT Angkasa Pura II, PT. Aneka Tambang TBK, PT. Semen
Padang, PT. Semen Gresik (sudah terjual), PT. Pelindo II Tanjung Priok,
PT. Pelindo III Surabaya, PT Jasa Marga, PT. Krakatau Steel, dan PT.
Indosat dari keseluruhan BUMN yang dimiliki pemerintah, yang berjumlah
sekitar 160 BUMN. Tidak terhitung lagi perusahaan yang semula bukan
BUMN, tetapi karena tersangkut kredit macet dan BLBI, akhirnya disita
dan dikelola oleh BPPN, dan kemudian dijual lagi kepada swasta seperti:
PT. Astra, Bank BCA, dan lain- lain.
Dampak swastanisasi BUMN bagi rakyat adalah pertama,
mayoritas rakyat akan kehilangan jaminan untuk membeli komoditi dan
jasa vital dengan harga murah. Selanjutnya, pembelian komoditi dan
jasa tersebut harus dilakukan sesuai dengan mekanisme pasar, yang
jatuhnya pasti lebih mahal. Padahal, jika kekuatan rakyat mampu
melikuidasi pimpinan-pimpinan lama (sisa-sisa Orde Baru), yang korup,
yang masih bercokol kuat dalam BUMN-BUMN, dan melakukan kontrol politik
yang ketat terhadap BUMN-BUMN tersebut, komoditi dan jasa yang
dihasilkan bisa dijual dengan harga lebih murah. Kedua,
pengelola yang baru (swasta) segera melakukan kebijakan
merasionalisasi (mem-PHK) buruh guna mencapai efisiensi biaya produksi,
dan atau melakukan mekanisasi alat-alat produksi yang berujung juga
pada pengurangan buruh, tujuannya jelas, agar pencapaian profit bisa
lebih maksimal. Bukankah memang demikian hukum besi kompetisi pasar ?
Maka, wajarlah jika buruh PT. Pelindo II Tanjung Priok, menolak rencana
swastanisasi ini dengan melakukan pemogokan. Mereka tahu bahwa
pengelola yang baru akan segera mengurangi
20
% dari jumlah buruh. (Kompas, 31 Mei 2000). Demikian juga, karyawan dan
masyarakat di sekitar PT Semen Padang, berunjuk rasa menentang rencana
swastanisasi PT. Semen Padang. Jika ada puluhan BUMN yang akan
diswastanisasi, berapa pula buruh yang akan di PHK ? Bisa dipastikan,
pengangguran di Indonesia — yang sampai dengan 1999 menurut Ditasari (
Ketua Front Nasional Persatuan Buruh Indonesia) mencapai 24 juta orang —
akan berderet kian panjang.
Jika
swastanisasi dilakukan untuk memperoleh devisa, seperti dikemukakan
pemerintah, argumentasi tersebut menjadi layak ditentang. Karena,
sebenarnya banyak alternatif sumber dana lainnya tanpa harus menjual asset-asset
rakyat banyak, misalnya dengan menaikkan PPH bagi individu yang
berpendapatan lebih dari Rp.1 juta, menaikkan PPH Badan (bukannya
diturunkan), mengenakan pajak bagi pendapatan bunga obligasi, menaikkan
pajak kendaraan mewah dan barang mewah, pemutihan hutang luar negeri,
mengurangi anggaran militer, menyita asset-asset Soeharto dan kroninya
yang diperoleh dari hasil KKN, menyita perusahaan-perusahaan yang
dikuasai militer, dan sebagainya, dan sebagainya.
Argumentasi
bahwa BUMN-BUMN hanya menjadi sarang KKN, juga bukanlah alasan
prinsip untuk kemudian men-swastanisasi. Institusi ekonomi mana (entah
BUMN atau swasta), yang selama rezim Kleptokrasi
(maling) Orde Baru tidak menjadi lahan korupsi/KKN ? Apakah perbankan
(yang mayoritas adalah swasta), PT. Texmaco, dan lain- lain yang
melakukan mega korupsi/KKN triliunan rupiah itu juga disebut BUMN ?
Persoalan korupsi/KKN tidaklah bersumber dari siapa pengelola sebuah
institusi perekonomian, tapi persoalan dasarnya adalah ketiadaan kontrol
politik dari rakyat terhadap institusi-institusi perekonomian.
Argumentasi yang lebih salah kaprah lagi, bahwa jika BUMN dikelola oleh
swasta, profit yang dihasilkan akan lebih besar. Rakyat tidaklah pernah
menuntut BUMN harus menghasilkan profit sebesar-besarnya, sederhana
saja, yaitu bagaimana membeli kebutuhan-kebutuhan pokoknya dengan harga
yang terjangkau. Ketika menghadapi krisis ekonomi, selalu kepentingan
rakyat banyak yang dikorbankan, seperti kebijakan pemotongan subsidi
BBM dan listrik, atau kehancuran yang dialami oleh petani padi dan tebu.
Tidak pernah kepentingan borjuasi yang berkuasa dikorbankan terlebih
dahulu.
Agar
pemahaman kita terhadap dinamika kapitalisme global menjadi jelas,
penting kita ketahui latar belakang dan kepentingan IMF (dan modal
internasional) terhadap swastanisasi BUMN. Bahkan, proyeksi dari IMF
yang dituangkan dalam Letter of Intents
(LoI) dengan pemerintah Indonesia dalam jangka waktu 10 tahun proses
swastanisasi seluruh BUMN –kecuali sebagian kecil BUMN– akan
terselesaikan (Kompas, 25 Nopember 1998). Kenapa IMF dalam LoI
menganjurkan, –lebih sering berupa tekanan– kepada pemerintah Indonesia
(semenjak Soeharto, Habibie, dan Gus Dur) bahwa untuk menutupi defisit
anggaran dengan swastanisasi BUMN ? Tidak lain adalah untuk kepentingan
modal internasional, bagi perluasan ekspansi modal mereka.
Pertama,
modal internasional berkepentingan untuk meluaskan lahan bertanam bagi
investasi modal mereka. Apalagi, konsumen produk komoditi dan jasa
dari BUMN-BUMN adalah mayoritas rakyat Indonesia –Indonesia adalah
negara berpenduduk terbesar keempat di dunia–. Bukankah ini potensi
pasar yang sangat besar, dan jaminan bagi investor dalam mengejar
profit? Swastanisasi ini juga akan merangsang investasi bagi surplus kapital di negeri-negeri induk imperialisme, yang selama ini terkonsentrasi di surga stock exchange
(bursa saham), yang proses pelipatgandaan kapital-nya tidaklah riil,
sangat spekulatif tapi guncangan-guncangan yang diakibatkannya sangat
membahayakan investasi di sektor riil, dan mengganggu konstruksi modal
internasional yang telah mapan. Dengan menekan negeri-negeri dunia
ketiga untuk melakukan swastanisasi diharapkan mampu menarik minat
investor di negeri dunia pertama untuk memindahkan investasinya ke
sektor yang produktif.
Kedua,
dalam kondisi kebutuhan dana yang mendesak, tentu nilai jual dari
BUMN-BUMN tersebut sangatlah rendah, di tengah limpahan modal di
negeri-negeri kapitalisme maju dan merosotnya borjuasi domestik. Dalam
waktu yang singkat, PT. Astra Internasional, dan PT. Bentoel berpindah
milik ke tangan George Soros. Karena, yang paling siap untuk membeli
BUMN adalah modal internasional. Argumentasi-argumentasi tersebut bukan
membela borjuasi domestik yang sedang terpuruk, tapi sekadar
menggambarkan kenyataan ekonomi politik yang sedang berkembang, serta
dampaknya bagi mayoritas rakyat (buruh, kaum miskin kota dan petani, dan
mahasiswa).
Dengan
penjelasan diatas, maka tingkat keuntungan (profit) yang dihasilkan
dari pengelolaan BUMN yang berpindah milik ke tangan swasta akan
mengalir ke kantong perusahaan-perusahaan internasional– Multi Nasional
Corporation (MNC) –di negeri-negeri kapitalis maju.
Penghapusan Subsidi
Subsidi
publik, bagi pengusung teori neoliberalisme, dianggap hanya pemborosan
modal. Akan lebih baik modal tersebut dialokasikan ke sektor yang lebih
produksif –tentu saja kepada pengusaha besar agar bisa melakukan
ekspansi usaha–. Mereka tidak berkepentingan terhadap kebutuhan rakyat,
dan menyerahkan nasib rakyat ke tengah kompetisi pasar, dimana berlaku
hukum ‘siapa yang kuat, dia akan memenangkan persaingan dan memegang
monopoli harga’. Propagandanya adalah, jika sektor-sektor pelayanan
publik diserahkan kepada mekanisme pasar, justru biaya yang akan
ditanggung konsumen (rakyat) akan lebih murah. Benarkah demikian?
Justru sebaliknyalah yang terjadi.
Awal
Mei 2000, sebagai konsesi pinjaman modal dari IMF, rezim Gus Dur
berencana akan mengurangi subsidi BBM dan Tarif Dasar Listrik (TDL).
Segera saja kebijakan yang merugikan mayoritas rakyat tersebut menuai
benih perlawanan dimana-mana. Partai Rakyat Demokratik (PRD), gerakan
mahasiswa, serikat-serikat buruh, LSM-LSM menggelar aksi unjuk rasa di
penjuru kota, segera setelah diumumkannya rencana tersebut. Dan ketika
perlawanan mulai meruak, rezim agaknya ketakutan. Mungkin, belajar dari
kejatuhan Soeharto pada bulan Mei 1998, akhirnya kenaikan harga BBM
tersebut ditunda.
Kendati
demikian, harga barang-barang termasuk juga tarif angkutan umum,
terlanjur merangkak naik. Demikian juga TDL, yang dilakukan setelah
mengelabui rakyat bahwa kenaikan tersebut tidak akan merugikan rakyat
kecil karena hanya berlaku untuk konsumen golongan 900 watt ke atas.
Ini adalah propaganda palsu! Bagaimanapun, naiknya listrik untuk sektor
industri pasti menyebabkan naiknya harga produk. Mustahil kapitalis
mau menanggung beban kenaikan biaya produksi ini. Kalaupun tidak
menaikkan harga jual, pastilah langkah yang ditempuh adalah mengurangi
kenaikan upah buruh.
Puluhan
pabrik baja dan pabrik tekstil terancam gulung akibat kenaikan TDL,
karena listrik adalah energi pokok dalam dunia industri. Bukankah ini
berpotensi melipatgandakan jumlah pengangguran yang sampai kini belum
teratasi ? Sementara di sisi lain, pemerintah menghambur-hamburkan dana
untuk membeli listrik swasta –kasus kontrak listrik PT. Paiton dan
Tanjung Jati–, dimana harga listrik swasta tersebut 3 kali lipat dari
harga pasar.
Tidak
hanya BBM dan TDL yang akan dikurangi subsidinya. Pada tahun 1999 yang
lalu, subsidi pupuk sudah lebih dahulu dikurangi, yang dampaknya jelas
menelangsakan petani. Akibatnya di beberapa daerah terjadi amuk
lantaran petani tidak mampu membeli pupuk. Bahkan di Blora, Jawa
Tengah, petani beramai-ramai menjarah gudang-gudang pupuk milik KUD dan
agen penyalur pupuk, atau memaksa KUD menjual dengan harga lama. Akibat
pengurangan subsidi tersebut, harga pupuk melonjak hampir 100 %,
sementara harga jual (riil) produk pertanian menurun. Derita petani
kian parah ketika Habibie dan Gus Dur, demi mengakomodir kepentingan
modal internasional, meliberalkan tarif impor beras dan gula, seperti
sudah diuraikan di muka.
Sebagai
bagian dari paket kebijakan neoliberal, subsidi-subsidi sosial yang
lain (pendidikan, kesehatan, dan sebagainya) dalam waktu dekat juga
akan dikurangi. Bisa diprediksi, mayoritas rakyat akan makin sulit
menyekolahkan anaknya dan membayar biaya kesehatan karena harga
obat-obatan dan jasa pelayanan kesehatan semakin menggila.
Restrukturisasi keuangan
Restrukturisasi
keuangan ini menyangkut dua hal, yaitu, rekapitalisasi perbankan dan
penyelesaian hutang (hutang luar negeri pemerintah dan swasta,
penyelesaian kredit-kredit macet domestik oleh BUMN-BUMN maupun oleh
swasta). Biaya untuk rekapitalisasi perbankan menelan dana yang luar
biasa besar, hingga ratusan trilliun rupiah. Keseluruhan dana tersebut
(baca: BLBI)–yang seharusnya menjadi hak mayoritas rakyat– dipergunakan
untuk menutupi dampak kredit macet dari segelintir orang. Ironisnya
lagi, kucuran dana BLBI ini, bukannya segera digunakan untuk
menyehatkan bank-nya yang collaps,
tetapi justru menjadi lahan subur korupsi bagi bankir ataupun pejabat
BI dan birokrasi. Bahkan, pengusutan secara hukum debitur-debitur yang
tersangkut kredit macet dan pengusutan dana BLBI yang dikorup selama
hampir tiga tahun tidak membuahkan hasil memuaskan. Penyebabnya,
debitur-debitur, ataupun juga birokrat yang tersangkut korupsi dana BLBI
tersebut masih bercokol kuat dalam pemerintahan baru ini –baik di
parlemen, birokrasi, militer, ataupun sebagai pimpinan-pimpinan BUMN–
sehingga proses hukumnya menjadi sulit. Ini adalah bukti belum
lenyapnya kekuatan-kekuatan Orde baru (Golkar, militer, dan birokrat
korup), mereka terus berproses, berkonsolidasi menjadi lebih kuat lagi.
Anggaran
untuk rekapitalisasi perbankan dari APBN 2000 sangat besar yaitu Rp.
58, 9899 triliun ( 30 % lebih dari total pengeluaran APBN 2000), dengan
rincian, untuk membayar utang bunga obligasi pemerintah sebesar Rp.
42,3649 triliun, dan untuk cicilan bunga utang luar negeri Rp.16,625
triliun. Dana rekapitalisasi perbankan tersebut jelas sekali sangat
membebani APBN. Padahal pemerintah terus mengeluarkan obligasi
(hakekatnya adalah hutang pemerintah) untuk keperluan dana bagi biaya
rekapitalisasi perbankan. Artinya, setiap tahun beban APBN untuk biaya
rekapitalisasi perbankan ini akan semakin besar.
Modal
internasional dan IMF sangat berkepentingan terhadap pulihnya dunia
perbankan, karena perbankan adalah instrumen penting dalam penyediaan
modal bagi beroperasinya sistem kapitalisme. Perbankan yang sehat, akan
menopang kelancaran eksploitasi surplus value dari
Indonesia. Maka, tak menjadi soal bagi IMF dan pemerintah demi
tercukupinya dana rekapitalisasi perbankan dilakukan pemotongan
subsidi-subsidi untuk rakyat (pupuk, BBM, listrik).
Persoalan
berat lainnya adalah penyelesaian hutang luar negeri yang hingga saat
ini mendekati angka 155 millyar US dollar –lebih dari setengah total
hutang tersebut adalah hutang pemerintah–. Rezim Orde Baru setelah era
‘Oil Boom’ pada akhir dekade 70’-an dimana devisa negara tidak bisa
diraup lagi dari ekspor minyak, segera mengalihkan sumber pendanaannya,
yakni hutang luar negeri. Dari tahun ke tahun ketergantungan terhadap
hutang luar negeri ini semakin meningkat. Dengan jumlah hutang sebesar
itu, maka Indonesia saat ini berada dalam kondisi Fischer Paradox.
Suatu situasi dimana nilai pinjaman baru lebih kecil dibandingkan
dengan nilai hutang, dan bunga yang harus dibayar untuk hutang-hutang
lama lebih besar jumlahnya untuk tahun yang sama. Ironisnya lagi,
tidak jelas peruntukan dana dari hutang ini. Disinyalir tingkat
kebocoran dana pinjaman ini mencapai 30 % — menurut pernyataan Jeffrey
Winters, seorang pengamat Bank Dunia– dari total hutang luar negeri
pemerintah. IMF, World Bank, ADB, dan institusi-institusi keuangan
internasional lain sebagai lembaga kreditur bukannya tidak mengetahui
persoalan ini, tapi mereka terus mengucurkan pinjaman. Sungguh tidak
adil jika rakyat harus bertanggung jawab terhadap dana-dana pinjaman
yang dicuri (criminal debt)
ini. Lembaga-lembaga keuangan tersebut juga harus dituntut
pertanggungjawabannya. Artinya, rakyat Indonesia harus terbebaskan dari
tanggung jawab untuk mengembalikan pinjaman yang dikorup tersebut.
Bahkan
lebih jauh, lembaga-lembaga keuangan internasional sebagai kreditur,
sudah cukup banyak mengeruk keuntungan dari pinjaman-pinjaman ini, baik
dalam bentuk bunga hutang, pemakaian jasa konsultan proyek yang dari
negara kreditur, tender proyek yang diberikan kepada perusahaan dari
negeri kreditur, ataupun konsesi-konsesi ekonomi yang selalu menyertai
pinjaman-pinjaman tersebut. Sangat masuk akal sebenarnya, jika rakyat
Indonesia mengajukan tuntutan pemutihan hutang luar negeri.
Tetapi,
ternyata bukan jalan tersebut yang ditempuh oleh Habibie ataupun Gus
Dur, untuk keluar dari jeratan hutang. Keduanya tetap mengandalkan
hutang luar negeri sebagai jawaban mengatasi krisis. Justru pengajuan rescedulling
pembayaran hutang yang dilakukan laksana menyimpan ‘bom waktu’ . Di
satu sisi, suatu saat penundaan pembayaran ini akan jatuh tempo, di
sisi yang lain, Gus Dur terus menerima pinjaman baru.
Dengan
kebijakan ekonomi yang demikian, dari tahun ke tahun pembayaran hutang
luar negeri ini akan semakin membebani APBN. Untuk tahun anggaran 2000
ini saja, biaya yang harus disediakan untuk membayar hutang luar negeri,
yaitu cicilan bunga hutang dan cicilan hutang pokok yang jatuh tempo
mencapai Rp. 25, 221 trilliun.
Upah Buruh Murah dan Jaring Pengaman Sosial
Langkah
yang dilakukan Gus Dur untuk menarik dana dari investor (terutama
investor asing) tetap mengorbankan kepentingan rakyat (baca: buruh)
yaitu, dengan tetap dipertahankannya kebijakan upah buruh murah. Tidak
jauh berbeda dengan kebijakan-kebijakan Orde Baru yang lalu. Kenaikan
UMR pada tahun 2000 hanya 25 %, sangat kecil dibandingkan nilai riil
upah buruh yang mengalami turun sekitar 100 % akibat inflasi. Tentu,
kebijakan ini disambut gembira oleh pemodal internasional.
Para
investor juga mengancam akan mengalihkan investasinya ke negeri lain,
jika buruh-buruhnya mogok menuntut kenaikan upah. Kejadian ini
dialami oleh buruh PT. Sony dan PT. Kong Tai. Rancangan Undang-Undang
Serikat Pekerja yang sedang digodok di DPR pun masih memperlihatkan
bahwa hak-hak buruh belum dijamin sepenuhnya: tidak dicantumkannya
mogok sebagai hak kaum buruh, dilarangnya pegawai negeri membentuk
serikat pekerja independen serta tidak dijaminnya hak-hak politik kaum
buruh.
Bagaimana
cara rezim Gus Dur dan IMF meredam dampak kebijakan neoliberalisme yang
merugikan rakyat tersebut? Sebagai kamulflase seolah-olah kebijakan
ini tidak merugikan rakyat, pemerintah menggulirkan Program Jaring
Pengaman Sosial (JPS). Program tersebut sebagai alat untuk mendapatkan
dukungan politik sekaligus meredam perlawanan rakyat. Suatu program
yang tidak efektif sebenarnya karena tidak menyentuh akar persoalan
yang sebenarnya. Bahkan pada masa rezim Habibie, dimana Adi Sasono
menjabat Menteri Koperasi, program JPS ini menjadi lahan korupsi kelas
kakap.
Jika
program JPS ini tak cukup efektif memanipulasi kesadaran rakyat,
tampaknya rezim akan kembali menggunakan militer untuk menangkis
perlawanan rakyat yang menentang kebijakan neoliberalisme. Seperti
yang banyak terjadi di beberapa negara Amerika Latin. Apakah taktik
memakai kekuatan militer ini akan, atau sedang terjadi di Indonesia ?
Bagaimana nasib transisi demokrasi yang tengah berjalan ?
Melihat
realitas ekonomi politik yang sedang berkembang, dengan jelas kita
bisa melihat kecenderungan, ke arah mana muara kebijakan neoliberal
sekaligus dampak-dampaknya tersebut bagi kelangsungan demokrasi.
Program Reformatif
Berulang
kali pemerintah menegaskan bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil
tersebut terpaksa dilakukan karena pemerintah membutuhkan dana,
sementara tidak ada alternatif lain selain menadahkan tangan kepada
IMF. Alasan kebutuhan dana sajakah ? Ternyata tidak. Sejak awal,
kekuatan-kekuatan politik mainstream
(PDIP, PAN, PKB, ataupun Golkar) memiliki pandangan yang sama terhadap
krisis di Indonesia. Jelasnya, alasan ‘terpaksa’ tersebut hanyalah untuk
mengelabui rakyat, wajar jika pemerintah dengan semangat, rela hati
menjalankan semua rekomendasi kebijakan ekonomi dari IMF.
Maka,
upaya-upaya penghematan yang harus dijalankan –tentunya sesuai dengan
petunjuk IMF- adalah dengan mengurangi, dan secara bertahap akan
menghapus subsidi-subsidi publik ( BBM, listrik, pendidikan, kesehatan,
termasuk paket-paket kredit untuk rakyat kecil, dan sebagainya) seperti
diuraikan di muka. Padahal, hal tersebut tak bisa dikatakan
penghematan. Jika serius, ingin berhemat, masih banyak alternatif lain
tanpa harus mengorbankan rakyat.
Akan
kami tunjukkan alternatif penghematan tersebut yakni: Program
pemutihan hutang luar negeri, minimal adalah penghapusan sebagian dan
atau moratorium;
pengurangan anggaran belanja barang inventaris kepegawaian; pengurangan
anggaran belanja militer non dana kesejahteraan prajurit hingga perwira
pertama; pembatalan kenaikan gaji pegawai dari tingkat esselon ke atas;
pembatasan penggunaan mobil pribadi (jika pengematan BBM menjadi alasan
menaikkan harga BBM); pembatasan kepemilikan mobil pribadi (maksimal 1
keluarga 1 mobil) dan sebagainya. Langkah penghematan inilah yang
seharusnya dilakukan oleh rezim Gus Dur.
Sementara
untuk menutupi defisit anggaran, pemerintah justru menjual BUMN-BUMN
yang merupakan aset milik rakyat. Padahal, sebenarnya masih ada
alternatif lain, minimal dalam jangka pendek. Sumber-sumber dana
alternatif yang kami maksud adalah: Pertama,
menaikkan pajak PPh (Pajak Penghasilan) Perseorangan bagi individu yang
berpendapatan lebih dari 1 juta per bulan, PPh Badan dengan
diberlakukan secara progressif, menaikkan pajak penjualan barang mewah
(PPN BM) dan pengenaan pajak dari pendapatan bunga obligasi
(prosentasenya minimal sama dengan pajak deposito). Kedua, penyitaan asset-asset hasil KKN Soeharto dan kroni-kroninya. Ketiga,
pengusutan dan penyitaan dana hasil KKN di BUMN-BUMN (menurut PWC untuk
Pertamina saja dana yang dikorup sekitar 5 milyar US dollar). Keempat, pengusutan dan penyitaan dana KKN dari kredit yang macet dari debitor-debitor besar. Kelima, pengusutan dan penyitaan dana BLBI yang dikorup oleh pengusaha ataupun oleh birokrasi, dan sebagainya.
Jika langkah-langkah tersebut dilakukan secara serius, tak perlu lagi
pengurangan subsidi BBM dan listrik, hutang luar negeri, dan
swastanisasi BUMN. Sekali lagi, solusi tersebut hanya bersifat jangka
pendek, karena hanya mampu menunda ekspansi dan eksploitasi modal untuk
sementara waktu saja — karena pada akhirnya karakter progresif dari
modal tidak cukup mampu dibendung dengan langkah-langkah tersebut–.
Solusi menyeluruh bagi rakyat adalah: jika kita secara radikal
merumuskan sistem ekonomi alternatif yang lebih manusiawi untuk
menjawab bencana kemanusiaan dari sistem kapitalisme. Sistem ekonomi
alternatif tersebut, sayangnya tidak berada dalam kerangka
kapitalisme, dan harus di luar kapitalisme.
Dewan Rakyat
Permasalahan
besar yang dihadapi rakyat Indonesia adalah kapitalisme dan bagaimana
mengatasi krisis. Mustahil akan menyelesaikan krisis ini dengan
implementasi kebijakan neoliberalisme, seperti yang dilakukan oleh rezim
Gus Dur-Mega, justru ketika neoliberalisme adalah jalan keluar
kapitalisme untuk keluar dari krisisnya.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, terpenting yang dilakukan adalah
mencari cara untuk mendorong partisipasi rakyat-ekonomi dan
politik-dalam menghadapi krisis. Partisipasi tersebut akan semakin
nyata, jika rakyat mampu mengorganisir diri, karena rakyat yang
terorganisir akan mampu mempertahankan hak-haknya dan melakukan
perlawanan menentang neoliberalisme dalam short-term struggle (perjuangan jangka pendek), yakni, perjuangan yang masih reformis seperti: menentang pemotongan subsidi, menuntut kenaikan upah, menuntut pengadilan bagi Soeharto dan sebagainya.
Bagaimana cara rakyat mengorganisir diri?
Rakyat
harus terorganisir dalam organisasi-organisasi sektor (bisa berdasarkan
profesi dan sebagainya) seperti: serikat-serikat buruh, serikat-serikat
petani, serikat mahasiswa dan sebagainya. Serikat tersebut harus
dibentuk hingga tingkat pabrik, kampus, kampung. Tidak harus dalam
bentuk serikat dalam arti formal, bisa saja dengan komite-komite aksi
untuk satu persoalan tertentu (kenaikan upah, kades yang korup dan
sebagainya).
Aliansi
bersama dari masing-masing organisasi sektor. Hal ini telah sering
dilakukan, kendati masih sebatas komite aksi bersama. Perspektif ke
depan, aliansi ini harus didorong lebih maju menjadi aliansi strategis,
aktifitasnya bukan hanya aksi tetapi juga acara-acara diskusi dan
pendidikan politik bersama. Program yang berkesinambungan ini tentu
akan melahirkan kesadaran perjuangan bersama dan menghasilkan kekuatan
yang lebih besar dan lebih kuat.
Kemampuan
mengorganisir diri, mangatur diri, dan melibatkan banyak orang akan
tercipta bersama dalam keterlibatan langsung pada pengorganisiran
rakyat. Mengorganisir aktifitas rakyat, untuk persoalan yang mungkin
dianggap ‘sepele’ seperti: mengorganisir penyediaan bahan-bahan
kebutuhan rakyat sehari-hari (minyak, beras, dan sebagainya). Pada saat
krisis ini, dimana harga-harga melonjak tak terkira, wadah-wadah rakyat
dibutuhkan untuk mengatasinya. Komite Distribusi Minyak bisa saja
dibentuk untuk menjamin rakyat memperoleh minyak dengan harga murah,
atau komite-komite rakyat yang lain. Aktifitas seperti ini akan sangat
berguna bagi organisasi-organisasi rakyat untuk belajar mengatur
kebutuhan-kebutuhannya sendiri maupun orang banyak.
Pengalaman
mengorganisir diri dalam komite-komite atau serikat-serikat rakyat
akan menjadi dasar bagi peningkatan kemampuan rakyat untuk menjalankan long-term struggle
(perjuangan jangka panjang). Merupakan basis untuk menapak lebih maju
dengan membentuk Dewan Rakyat. Sebuah bentuk partisipasi penuh rakyat
dalam melawan kapitalisme secara radikal.
Secara sederhana kami akan menjelaskan tentang apa dan bagaimana Dewan Rakyat harus dibentuk:
Anggota
Dewan Rakyat tersebut benar-benar dipilih –bukan diangkat– dari bawah
secara demokratis. Rakyat akan menentukan wakilnya di Dewan Rakyat
dengan pemilihan langsung dari tingkat teritorial paling rendah (RT/RW).
Dewan Rakyat ini menjalankan fungsi legislatif sekaligus eksekutif
secara tidak dipisah. Karena, jika dipisahkan pertama, badan legislatif hanya akan menjadi tempat untuk berdebat, berdiskusi, dan mengambil keputusan saja. Kedua,
agar lebih memudahkan rakyat mengontrol fungsi eksekutif dari Dewan
Rakyat. Misalnya di salah satu RW ada 2000 warga, ditentukan anggota
Dewan Rakyat-nya 10 orang, maka 1 anggota Dewan Rakyat tersebut mewakili
200 orang. Kesepuluh orang tersebut menjalankan fungsi legislatif,
sementara badan eksekutif akan menjalankan keputusan-keputusan Dewan
Rakyat dipilih oleh 10 orang tersebut.
Di
tingkat yang lebih tinggi, kampung misalnya, Dewan Rakyat-nya terdiri
dari para anggota eksekutif dari Dewan Rakyat tingkat RW, demikian
seterusnya sampai tingkat nasional. Semua perwakilan dari tingkat
paling bawah sampai ke atas berada dalam kontrol rakyat. Karenanya,
bisa saja sewaktu-waktu direcall atau dicabut mandatnya jika melakukan tindak kejahatan, misalnya.
Dewan Rakyat ini tidak sekedar berfungsi politik, tapi juga ekonomi. Peran Dewan Rakyat dalam perekonomian adalah :
1. Menyita dan mengontrol seluruh kekayaan perusahaan Soeharto dan kroninya.
2.
Menasionalisasi seluruh BUMN untuk dikelola secara kolektif, sehingga
hasil-hasil produksinya dapat ditingkatkan dan didistribusikan secara
adil kepada seluruh rakyat. Semua BUMN tersebut pengawasannya tersentral
oleh Dewan Rakyat tingkat nasional. Sisa keuntungan dapat dialokasikan
ke sektor-sektor lain (kesehatan, pendidikan, tunjangan pensiun,
peningkatan gizi anak, dan sebagainya), atau untuk mendorong
pengembangan industri-industri vital (baja, farmasi, dan sebagainya).
3.
Menasionalisasi dan mengontrol seluruh sumber daya alam dan ekonomi
yang mengusasi hajat hidup orang banyak, untuk dikelola secara kolektif
guna menyediakan barang dan jasa murah bagi rakyat. Pengelolaan tersebut
dibawah tanggungjawab Dewan Rakyat Nasional melalui Dewan Rakyat di
daerah.
4.
Mengontrol beroperasinya perusahaan-perusahaan asing dengan jaminan ada
transfer teknologi, dan pembagian keuntungan yang adil. Hasil dari
pembagian keuntungan akan dipergunakan untuk menunjang sector-sektor
industri lainnya yang penting untuk dikembangkan.
5.
Menasionalisasi Bank-Bank dan mensentralisasikannya dalam satu Bank
Sentral Nasional. Nasionalisasi bank akan dimanfaatkan untuk mendorong
industri-industri yang menunjang produktifitas rakyat. Pensentralan bank
ini dilakukan tanpa harus melakukan PHK terhadap buruh-buruhnya.
6.
Mengontrol seluruh perdagangan dan pertukaran mata uang asing. Kontrol
terhadap perdagangan dan mata uang penting guna menjamin tercukupinya
kebutuhan rakyat, dan memudahkan perencanaan produksi dengan stabilnya
nilai tukar rupiah.
7.
Dalam kebutuhan mendesak, Dewan Rakyat berperan sebagai distributor
barang-barang dan jasa pokok dengan harga murah dan terjangkau oleh
mayoritas rakyat.
8. Mengontrol harga barang-barang dan jasa untuk menjamin terjangkaunya harga oleh mayoritas rakyat.
9.
Menjamin pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diarahkan
pada perbaikan alat-alat dan peningkatan kapasitas produksi dan
kemampuan mengembangkan produksi. Pengembangan teknologi tersebut
diprioritaskan pada industri-industri manufaktur berat (baja, besi, dan
lain- lain). Prioritas tersebut untuk menjamin penyediaan bahan baku
bagi industri lain yang pokok bagi rakyat (tekstil, kertas, farmasi,
bahan pangan dan lain-lain ).
10.
Meningkatkan ilmu dan teknologi pertanian untuk memperbaiki dan
meningkatkan kemampuan produksi pangan sehingga murah, bergizi dan
massif.
11.
Mendorong (jika perlu dengan subsidi) sektor-sektor industri swasta
(yang belum mampu dikelola bersama) sehingga mampu memberikan sumbangan
positif bagi produktifitas nasional.
12.
Menyediakan sarana-sarana pendidikan yang murah dari SD sampai dengan
universitas dan penyediaan sarana-sarana pendidikan (laboratorim, dana
riset, buku dan lain-lain)
13.
Menyediakan sarana-sarana transportasi umum yang murah dan dapat
menjangkau sampai ke pelosok-pelosok guna mempermudah aktifitas penting
(sekolah, kerja, distribusi barang).
14. Menyediakan perumahan-perumahan murah bagi rakyat.
15. Menyediakan sarana-sarana kesehatan yang murah dan memadai seperti rumah sakit-rumah sakit hingga tingkat kecamatan.
Dewan
Rakyat hanya bisa kita wujudkan dengan kerja keras dari seluruh
kekuatan politik progresif dan revolusiner (parpol, kelas pekerja,
petani, mahasiswa, dan intelektual progresif). Konsentrasi bagi
pembentukan Dewan rakyat adalah bagaimana secepatnya meningkatkan
kesadaran politik rakyat. Dewan Rakyat hanya mungkin dibentuk dengan
kesadaran massa yang progresif- revolusioner dan partisipasi politik
rakyat yang tinggi ***.
Aku Widya Okta, saya ingin bersaksi pekerjaan yang baik dari Allah dalam hidup saya kepada orang-orang saya yang mencari untuk pinjaman di Asia dan bagian lain dari kata, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara. Apakah mereka orang yang mencari pinjaman di antara kamu? Maka Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman penipuan di sini di internet, tetapi mereka masih asli sekali di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban dari suatu 6-kredit pemberi pinjaman penipuan, saya kehilangan begitu banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Aku hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari utang saya sendiri, sebelum aku rilis dari penjara dan teman yang saya saya menjelaskan situasi saya kemudian memperkenalkan saya ke perusahaan pinjaman dapat diandalkan yang SANDRAOVIALOANFIRM. Saya mendapat pinjaman saya Rp900,000,000 dari SANDRAOVIALOANFIRM sangat mudah dalam 24 jam yang saya diterapkan, Jadi saya memutuskan untuk berbagi pekerjaan yang baik dari Allah melalui SANDRAOVIALOANFIRM dalam kehidupan keluarga saya. Saya meminta nasihat Anda jika Anda membutuhkan pinjaman Anda lebih baik kontak SANDRAOVIALOANFIRM. menghubungi mereka melalui email:. (Sandraovialoanfirm@gmail.com)
ReplyDeleteAnda juga dapat menghubungi saya melalui email saya di (widyaokta750@gmail.com) jika Anda merasa sulit atau ingin prosedur untuk memperoleh pinjaman.
KABAR BAIK!!!
DeleteNama saya Lady Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman agar sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu kepada Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran di muka, tetapi mereka adalah penipu , karena mereka kemudian akan meminta pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, jadi berhati-hatilah terhadap Perusahaan Pinjaman yang curang itu.
Perusahaan pinjaman yang nyata dan sah, tidak akan menuntut pembayaran konstan dan mereka tidak akan menunda pemrosesan transfer pinjaman, jadi harap bijak.
Beberapa bulan yang lalu saya tegang secara finansial dan putus asa, saya telah ditipu oleh beberapa pemberi pinjaman online, saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan menggunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman yang sangat andal bernama Ms. Cynthia, yang meminjamkan saya pinjaman tanpa jaminan sebesar Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa konstan pembayaran atau tekanan dan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya terapkan dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.
Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik jika dia membantu saya dengan pinjaman, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman dengan mudah tanpa stres atau penipuan
Jadi, jika Anda memerlukan pinjaman apa pun, silakan hubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan atas karunia Allah, ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda mematuhi perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan memberi tahu saya tentang Ibu Cynthia, ini emailnya: arissetymin@gmail.com
Yang akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran cicilan pinjaman saya yang akan saya kirim langsung ke rekening perusahaan setiap bulan.
Sepatah kata cukup untuk orang bijak.
Assalamualaikum
ReplyDeleteCalls Only::::{+12542276869}
WhatsApp Only::::{+33753893351}
Email:::::::{{aditya.aulia139@gmail.com}}
{{iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com}}
Nama saya Aditya Aulia saya mengalami trauma keuangan karena saya ditipu dan ditipu oleh banyak perusahaan pinjaman online dan saya pikir tidak ada yang baik bisa keluar dari transaksi online tapi semua keraguan saya segera dibawa untuk beristirahat saat teman saya mengenalkan saya. untuk Ibu pada awalnya saya pikir itu masih akan menjadi permainan bore yang sama saya harus memaksa diri untuk mengikuti semua proses karena mereka sampai pada kejutan terbesar saya setelah memenuhi semua persyaratan karena permintaan oleh proses saya bisa mendapatkan pinjaman sebesar 350jt di rekening Bank Central Asia (BCA) saya saat saya waspada di telepon saya, saya tidak pernah mempercayainya, agaknya saya bergegas ke Bank untuk memastikan bahwa memang benar ibu kontak sekarang mengalami terobosan pemanasan jantung dalam kehidupan finansial Anda melalui apakah itu BBM INVITE-nya: {D8980E0B} atau apakah kamu ingin mengkonfirmasi dari saya? Anda bisa menghubungi saya melalui surat saya: {aditya.aulia139@gmail.com} dan juga Anda bisa menghubungi perusahaan CREDIT UNION DAYA LESTARI via: {mail:iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com}
ReplyDeleteSaya selalu berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan peminjam yang meminjamkan uang tanpa membayar terlebih dahulu.
Jika Anda mencari pinjaman, perusahaan ini adalah semua yang Anda butuhkan. setiap perusahaan yang meminta Anda untuk biaya pendaftaran lari dari mereka.
saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah SUZAN INVESTMENT COMPANY. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir Rp15 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.
Pembayaran yang fleksibel,
Suku bunga rendah,
Layanan berkualitas,
Komisi Tinggi jika Anda memperkenalkan pelanggan
Hubungi perusahaan: (Suzaninvestment@gmail.com)
Email pribadi saya: (Ammisha1213@gmail.com)
Assalamualaikum
ReplyDeleteCalls Only::::{+16264653418}
WhatsApp Only::::{+33753893351}
Email:::::::{{aditya.aulia139@gmail.com}}
{{iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com}}
Nama saya Aditya Aulia saya mengalami trauma keuangan karena saya ditipu dan ditipu oleh banyak perusahaan pinjaman online dan saya pikir tidak ada yang baik bisa keluar dari transaksi online tapi semua keraguan saya segera dibawa untuk beristirahat saat teman saya mengenalkan saya. untuk Ibu pada awalnya saya pikir itu masih akan menjadi permainan bore yang sama saya harus memaksa diri untuk mengikuti semua proses karena mereka sampai pada kejutan terbesar saya setelah memenuhi semua persyaratan karena permintaan oleh proses saya bisa mendapatkan pinjaman sebesar 350jt di rekening Bank Central Asia (BCA) saya saat saya waspada di telepon saya, saya tidak pernah mempercayainya, agaknya saya bergegas ke Bank untuk memastikan bahwa memang benar ibu kontak sekarang mengalami terobosan pemanasan jantung dalam kehidupan finansial Anda melalui apakah itu BBM INVITE-nya: {D8980E0B} atau apakah kamu ingin mengkonfirmasi dari saya? Anda bisa menghubungi saya melalui surat saya: {aditya.aulia139@gmail.com} dan juga Anda bisa menghubungi perusahaan CREDIT UNION DAYA LESTARI via: {mail:iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com}
Aku indriaty manirjo, saya ingin bersaksi pekerjaan yang baik dari Allah dalam hidup saya kepada orang-orang saya yang mencari untuk pinjaman di Asia dan bagian lain dari kata, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara. Apakah mereka orang yang mencari pinjaman di antara kamu? Maka Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman penipuan di sini di internet, tetapi mereka masih asli sekali di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban dari suatu 6-kredit pemberi pinjaman penipuan, saya kehilangan begitu banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Aku hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari utang saya sendiri, sebelum aku rilis dari penjara dan teman yang saya saya menjelaskan situasi saya kemudian memperkenalkan saya ke perusahaan pinjaman reliabl yang MAGRETSPENCERLOANCOMPANY. Saya mendapat pinjaman saya Rp850,000,000 dari MAGRETSPENCERLOANCOMPANY sangat mudah dalam 24 jam yang saya diterapkan, Jadi saya memutuskan untuk berbagi pekerjaan yang baik dari Allah melalui MAGRETSPENCERLOANCOMPANY dalam kehidupan keluarga saya. Saya meminta nasihat Anda jika Anda membutuhkan pinjaman Anda lebih baik kontak MAGRETSPENCERLOANCOMPANY. menghubungi mereka melalui email:. (magretspencerloancompany@gmail.com)
ReplyDeleteAnda juga dapat menghubungi saya melalui email saya di (indriatymanirjo010@gmail.com) jika Anda merasa sulit atau ingin prosedur untuk memperoleh pinjaman.
Kami menawarkan berbagai layanan keuangan yang meliputi: Perencanaan Bisnis, Komersial dan Pengembangan Keuangan, Properti dan Hipotek, Pinjaman Konsolidasi Utang, Pinjaman Bisnis, Pinjaman Swasta, Pinjaman Pembiayaan Kembali Rumah dengan suku bunga rendah per tahun untuk perorangan, perusahaan dan badan hukum. Dapatkan yang terbaik untuk keluarga Anda dan miliki rumah impian Anda juga dengan skema Pinjaman Umum kami. Pelamar yang tertarik harus
ReplyDeleteHubungi kami via
Hanya WhatsApp: (+ 44) 7480 729811
Tel .... (+ 44) 7480 729811
Email: (iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com)
KABAR BAIK !!! KABAR BAIK !!! KABAR BAIK!!!
ReplyDeleteHalo semua, nama saya Mrs. Arya Theresia, saya dari Indonesia, saya ingin menggunakan media ini untuk membagikan kesaksian saya tentang bagaimana saya mendapatkan pinjaman dari MRS CHRISTY MORRIS LOAN FIRM karena begitu banyak pemberi pinjaman kredit palsu di sini di internet dan juga untuk memberi tahu Anda bahwa saya adalah korban penipu internet berkali-kali, jadi saya tidak kehilangan harapan sampai saya dirujuk oleh seorang teman ke pemberi pinjaman terpercaya bernama MRS. CHRISTY MORRIS yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar Rp850.000,0000 dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan, saya sarankan CHRISTY MORRIS LOAN FIRM adalah yang terbaik dan saya berdoa Tuhan akan memberkati mereka dan menjaga bisnis mereka maju, Amin
Jika Anda memerlukan bantuan tentang cara mendapatkan pinjaman, Anda dapat menghubungi saya melalui email: (aryatheresia750@gmail.com)
Anda dapat menghubungi perusahaan secara langsung dengan pinjaman mereka
Email: (christymorrisloanfirm@gmail.com)
Terima kasih
Arya Theresia